Seputar Zakat
Pajak Dalam Islam : Persaksian Para Salafush Shalih Tentang Pajak
Oleh
Abu Ibrahim Muhammad Ali
PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK
1). Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]
2). Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.
“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]
Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]
3). Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]
4) Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”
5). Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.
6). Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.
7). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”
Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]
Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]
BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”
Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [15]
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]
DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.
1). Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.
2). Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]
3). Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]
4). Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.
5). Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.
6). Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
7). Hasil tambang dan semisalnya.
Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.
PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]
Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.
Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.
“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.
Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Footnotes
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots
Pajak Dalam Islam : Hukum Pajak Dan Pemungutnya Menurut Islam
Oleh
Abu Ibrahim Muhammad Ali
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]
Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]
Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]
MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]
KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]
PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].
4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Footnotes
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
Nasihat Kepada Orang Yang Keberatan Mengeluarkan Zakat, Zakat Dibagikan Sendiri
Senin, 28 April 2008 07:44:07 WIB
NASIHAT KEPADA ORANG YANG KEBERATAN MENGELUARKAN ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana nasihat anda kepada orang yang bakhil dalam mengeluarkan zakat? Mudah-mudahan hatinya terbuka sehingga kembali kepada al-haq?
Jawaban
Nasihatku kepada orang yang bakhil dalam mengeluarkan zakat, hendaklah dia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hendaklah dia ingat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan sesuatu kepadanya untuk menguji dirinya dengan itu. Yang diberi harta, diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan harta itu. Jika ia mensyukuri nikmat ini dan menunaikan haknya, maka ia akan beruntung. Jika ia bakhil dalam zakat, (berarti) ia tidak menunaikan hak dari nikmat ini, maka ia akan rugi dan akan merasakan adzab, serta balasan dari perbuatannya itu di dalam kuburnya dan pada hari Kiamat –Nas’alullahal ‘afiyah (kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya).
Harta itu akan hilang dan masalahnya sangat berbahaya. Akibatnya sangat buruk bagi orang yang bakhil dan tidak menunaikan zakatnya. Harta itu akan ditinggal untuk orang-orang sesudahnya, sementara ia akan dihisab dan menanggung dosanya. Maka wajib bagi setiap kaum muslimin yang memiliki harta agar betakwa kepada Allah dan mengingat saat berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaklah ia ingat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada semua pelaku sesuai dengan perbuatannya, dan mengingat bahwa harta ini merupakan ujian.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” [At-Taghabun : 15]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” [Al-Anbiya : 35]
Jadi, harta itu merupakan ujian. Jika engkau bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau menunaikan yang menjadi hak harta, engkau mempergunakan sebagaimana mestinya, maka engkau mendapatkan keberuntungan yang sebenarnya, dan jadilah harta itu benar-benar menjadi nikmat bagimu.
Teman terbaik bagi seorang mukmin adalah harta ini. Dengannya, ia bisa menyambung silaturrahmi. Dengannya, ia bisa menunaikan apa yang menjadi tanggungannya , bisa ikut andil dalam jalan-jalan kebaikan dan memberikan manfaat, serta membantu kebaikan dan memberikan manfaat, serta membantu kaum ekonomi lemah. Maka harta itu di tangannya (merupakan) kenikmatan yang besar. Jika ia bakhil dengan harta itu, maka merupakan bencana besar bagi dirinya, dan akibatnya sangat besar.
Kami memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala keburukan, untuk kami dan seluruh kaum muslimin.
[Majmu Fatawa wa Maqalatu Mutanawwi’ah 14/237-238]
PAJAK BUKAN ZAKAT
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta.
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Banyak orang yang tidak mengeluarkan zakat dengan alasan negara telah menarik pajak sebagai ganti zakat. Apakah ini cukup, apalagi negara tidak mengumpulkan zakat dari warganya? Jika pajak ini tidak cukup, apakah harus mengeluarkan zakat sendiri, ataukah bagaimana ?
Jawab
Beban pajak yang diharuskan negara kepada rakyatnya tidak menggugurkan kewajiban zakat dari orang yang memiliki harta yang sudah mencapai nishab dan sudah setahun (dia memiliki harta itu). Orang ini wajib mengeluarkan zakat dan membagikan kepada orang-orang yang berhak menurut syariat Islam, yaitu yang disebutkan oleh Allah Suhhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang , untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, Dan Allah Mahamengatahui lagi Mahabijaksana” [At-Taubah : 60]
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta 9/285]
ZAKAT DIBAGIKAN SENDIRI
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kepada siapakah zakat uang diserahkan? Apakah orang yang mengeluarkan zakat boleh menyerahknnya sendiri kepada orang fakir dan miskin? Ataukah dia menyerahkannya kepada penguasa semisal baitul mal?
Jawaban
Bagi orang yang berzakat, disunnahkan membagikan sendiri zakatnya kepada orang fakir dan orang lain yang berhak menerimanya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang , untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, Dan Allah Mahamengatahui lagi Mahabijaksana” [At-Taubah : 60]
Jika zakat itu diminta oleh penguasa, maka disyari’atkan untuk menyerahkan zakat itu kepadanya, karena perbuatan itu termasuk taat dan mendengar dalam hal yang ma’ruf. Dengan demikian, dia juga sudah terbebas dari beban kewajiban, jika penguasanya muslim
Billahit taufiq, wa shallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘alihi wa ashabihi wa sallam.
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta no. 1393]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
Hukum Mengeluarkan Zakat Fithri Dengan Uang?
Jumat, 5 Oktober 2007 01:03:40 WIB
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?
Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.
"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) " [An-Najm : 3-4]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu 'anhu, dia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar"
Dan Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu 'anhu, dia berkata.
"Artinya : Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha' kurma atau gandum atau anggur kering" dalam satu riwayat "satu sha' keju"
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam zakat fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari'atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu 'anhum. Kami belum pernah mengetahui ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar'i juga telah dinukil periwayatannya. Allah berfirman.
"Artinya : Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah" [Al-Ahzab : 21]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran, bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar'i yang telah disebutkan.
Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan Mulia.
Washallahu ' Ala Nabiyina Muhammadin wa'ala alihi wa shahbihi.
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya : "Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?"
Jawaban
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang. Dan yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk mengerluarkan uang
[Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan halaman 918 - 927]
Catatan : Satu Sha' sama dengan kira-kira 2.5 kg
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Zakat Piutang
Kamis, 4 Oktober 2007 16:33:31 WIB
ZAKAT PIUTANG
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai piutang pada salah seorang kawan, apakah saya harus menzakatinya?
Jawaban
Jika piutang milikmu berada pada orang-orang yang mudah membayar, kapanpun anda memintanya dia akan meberikan kepadamu apa yang menjadi hakmu, maka anda harus menzakatinya setiap kali genap setahun. Seolah-olah uang itu ada padamu, padahal ada pada mereka sebagai amanat. Adapun jika orang yang memiliki utang tersebut kesulitan sehingga tidak dapat membayarnya kepadamu, atau tidak mengalami kesulitan tetapi mengulur-ngulur pembayaran dan anda tidak dapat mengambil darinya, maka pendapat ulama yang shahih ialah bahwa anda tidak wajib membayar zakatnya hingga anda menerimanya dari pihak pengutang yang mengulur-ngulur pembayaran atau mengalami kesulitan tersebut.
Jika anda telah menerimanya, anda menunggu setahun dan membayar zakat sesudah genap setahun sejak anda menerimanya. Jika anda menunaikan zakat untuk setahun saja dari sekian tahun sebelumnya yang berada pada orang yang kesulitan atau orang yang menunda-nunda pembayaran, maka tidak mengapa. Ini pendapat sebagian ahli ilmu. Tetapi anda tidak wajib, melainkan pada masa yang akan datang, sejak anda menerima harta tersebut dari orang yang kesulitan atau orang yang menunda-nunda membayar utang, dan anda menunggu setahun. Setelah genap setahun anda wajib menzakatinya. Inilah pendapat yang dipilih.
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya meminjamkan sejumlah uang kepada seseorang dan telah genap setahun, tetapi ia belum membayar, apakah saya membayar zakatnya ataukah menunggu sampai dia membayarnya, kemudian saya mengeluarkan zakat setahun saat menerima uang tersebut?
Jawaban
Selama piutang atau pinjaman anda pada seseorang yang kecukupan dan mendapat kemudahan serta anda dapat mengambilnya darinya kapan pun anda mau, maka harus dizakati setiap tahunnya. Karena uang tersebut tidak ubahnya sebagai amanat, baik anda menitipkan uang tersebut untuk meluaskannya atau karena anda tidak membutuhkannya.
Adapun jika piutang atau pinjaman tersebut ada pada orang yang kesulitan, orang yang suka menunda-nunda pembayaran, atau tidak mampu menetapi janjinya, maka yang dipilih dan yang rajih (kuat) ialah tidak ada zakatnya sampai anda menerimanya. Jika anda telah menerimanya, maka keluarkan zakatnya untuk setahun, meskipun berada di tangan-tangan peminjam selama beberapa tahun lamanya. Wallahu a’lam
TIDAK BOLEH MENGGUGURKAN UTANG DAN MENGHITUNGNYA SEBAGAI ZAKAT
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai kerabat yang fakir serta sangat membutuhkan, dan kami memberikan kepadanya dari zakat harta kami setiap tahun. Beberapa waktu yang lalu saya telah memberikan kepadanya sejumlah uang diluar waktu zakat (sebagai pinjaman), tetapi sampai sekarang ia tidak mampu mengembalikannya kepada kami kendatipun telah berlangsung sekian tahun lamanya.
Pertanyaan kami : “apakah boleh kami membebaskan utangnya tersebut, dengan menganggapnya sebagai zakat yang akan kami berikan tahun ini insya Allah?.
Jawaban
Yang benar tidak boleh membebaskan utang yang menjadi tanggungan si peminjam, ketika merasa putus asa terhadapnya atau keterlambatannya, disertai dengan niat bahwa penghapusan tersebut sebagai zakat. Karena zakat adalah harta yang dibayarkan kepada kaum fakir karena kekafirannya dan kebutuhan mereka. Tetapi jika dia diberi zakat lalau ia mengembalikannya kepada orang yang berhak, untuk melunasi tanggungannya, maka itu boleh… jika disitu tidak ada kesengajaan atau pemihakan (nepotisme).
[Disalin dari buku Fatawa Az-Zakah, edisi Indonesia Fatwa Seputar Zakat, Penyusun Muhammad Al-Musnid, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag, Penebit Darul Haq, Cetakan I Sya’ban 1424H]
Membayar Zakat Untuk Pencetakan Buku-Buku Dan Kaset-Kaset Dakwah
Rabu, 3 Oktober 2007 16:36:21 WIB
MEMBAYAR ZAKAT UNTUK PENCETAKAN BUKU-BUKU DAN KASET-KASET DAKWAH
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Karena penyebaran buku-buku dan kaset-kaset Islami sangat penting dalam rangka mengajak manusia ke jalan Allah di masa sekarang, yaitu untuk meluruskan aqidah dan menjelaskan ibadah serta mengajarkan adab-adab Islami serta dalam rangka amar ma’ruf nahyi mungkar, apakah boleh menyalurkan zakat untuk mencetak buku-buku dan kaset-kaset Islami? Perlu diketahui, bahwa Majlis Al-Majma Al-Fiqhi telah membahas masalah ini dan telah mengeluarkan keputusan sebagai berikut :
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabatnya, wa ba’du.
Majlis Al-Majma Al-Fiqhi pada konferensinya yang ke delapan yang diselenggarakan di Makkah Al-Mukarramah pada tanggal 27/4/1405H sampai tanggal 8/5/1405H, setelah mengkaji makna (fi sabilillah) yang tersebut dalam ayat Al-Qur’an yang mulia, dan mendiskusikan serta menghimpun pendapat, maka dapat disimpulkan, bahwa dalam masalah ini para ulama mempunyai dua pendapat.
Pertama : Membatasi makna (fi sabilillah) dalam ayat yang mulia itu hanya perang fi sabilillah. Ini pendapat mayoritas ulama. Yang mereka maksud adalah, bahwa penerima zakat yang termasuk kategori fi sabilillah adalah para mujahid yang berperang di jalan Allah Ta’ala.
Kedua : Bahwa jalan Allah itu bersifat umum dan mencakup semua jalan kebaikan demi kemaslahatan kaum Muslimin, sehingga mencakup pembangunan masjid-masjid dan pemeliharaannya, pembangunan madrasah-madrasah, persiapan tempur, membuka jalan baru dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi agama dan kaum muslimin. Ini pendapat sebagin kecil ulama terdahulu, namun pendapat ini menjadi pilihan mayoritas ulama muta’akhkhirin.
Setalah terjadi silang pendapat dan diskusi sekitar dalil-dalil dari dua kelompok, majlis memutuskan berdasarkan suara mayoritas hal-hal sebagi berikut.
1). Karena pendapat kedua telah disampaikan oleh sejumlah ulama kaum muslimin, dan pendapat ini pun diperkuat oleh sejumlah ayat di dalam Al-Qur’an yang diantaranya.
“Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak meyakini (perasaan si penerima)” [Al-Baqarah ; 262]
Juga berdasarkan hadits-hadits yang mulia, diantaranya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa seorang laki-laki telah menetapkan seekor unta untuk keperluan berperang di jalan Allah, lalu istrinya hendak melaksanakan haji, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Bukankah lebih baik bila engkau mengendarainya, karena sesungguhnya melaksanakan haji itu (juga) fi sabilillah” [Diriwayatkan Abu Daud, kitab Al-Manasik]
2). Berdasarkan bahwa maksud jihad dengan pedang adalah meninggikan kalimat Allah Ta’ala, menyebar luaskan agama-Nya dengan mempersiapkan para da’i dan mendanai mereka serta membantu mereka dalam melaksanakan peran mereka, maka kedua hal ini sama-sama termasuk jihad.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasa’i yang dishahihkan oleh Al-Hakim, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Artinya : Jihadlah terhadap kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian” [HR Ahmad 11837, An-Nasa’i 3096, Abu Dawud 2504]
3). Berdasarkan bahwa Islam itu diperangi dengan serangan pemikiran dari kaum atheis, yahudi, nashrani dan musuh-musuh lainnya, dan bahwa mereka itu didukung penuh secara moril dan materil, maka kaum muslimin harus menghadapi mereka sebagaimana menghadapi musuh yang memerangi dengan pedang, yaitu menghadapi mereka dengan cara yang sesuai.
4). Berdasarkan bahwa peperangan di negara-negara Islam menjadi urusan kementrian khusus yang berkenan dengan itu, dimana untuk itu dialokasikan dalam anggaran setiap negara, dan hal ini berbeda dengan jihad melalui da’wah, sehingga biasanya tidak ada anggaran tersendiri untuk menyokong dan membantu da’wah.
Karena itu semua, majlis menetapkan –berdasarkan suara terbanyak secara mutlak-, masuknya da’wah menyeru manusia ke jalan Allah serta hal-hal yang mendukungnya dan menyokong kegiatannya dalam katagori fi sabilillah dalam ayat Al-Qur’an tersebut.
Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabatnya.
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh mengatakan : “Di sini ada masalah penting, sangat tepat menyalurkan zakat padanya, yaitu menyiapkan kekuatan materi untuk menyeru manusia ke jalan Allah dan membongkar keraguan terhadap agama. Ini memang termasuk dalam katagori Jihad, dan ini termasuk jihad fi sbilillah yang paling agung”.
Kami mohon Syaikh berkenan menjelaskan masalah yang cukup penting ini.
Jawaban
Saya katakan, bahwa apa yang telah disebutkan oleh para ulama terkenal itu adalah ucapan yang benar dan pendapat yang lurus. Di situ terkandung fleksibilitas bagi kaum muslimin, dukungan bagi para da’i dan penuntun, serta menjadi faktor yang kuat untuk menyebarkan agama dan memberangus kaum musyrikin.
Tidak diragukan lagi, bahwa jalan Allah adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya. Bentuk jama’nya adalah subul, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dengan kitab itulah Allah menujuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan” [Al-Ma’idah ; 16]
Yakni menunjukkan ke jalan yang menyebabkan penempuhnya sampai kepada keselamatan. Maka setiap amal shalih untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mengantarkan kepada keridhaan-Nya serta surga-Nya termasuk jalan Allah (sabilullah), karena Allah cinta untuk didekati serta diharapkan pahala dan penghormatan-Nya. Maka Allah menyebutkan dalam ayat shadaqah, orang-orang yang berhak menerimanya karena kebutuhan khusus mereka, seperti orang fakir, orang berhutang, orang yang ada perjanjian, ibnu sabil dan sebagainya, yaitu orang-orang yang bisa memanfaatkannya untuk kemaslahatan pertahanan hidup dan kelangsungannya. Kemudian Allah menyebutkan sisi lain secara global, yaitu bahwa yang juga termasuk fi sabilillah itu adalah hijrah, sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak” [An-Nisa : 100]
Tidak diragukan lagi, bahwa kemaslahatan menyeru manusia ke jalan Allah (da’wah ilallah), menjelaskan kebaikan-kebaikan Islam, membantah para penentang dan perusak, membongkar keraguan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir dan munafikin serta hal-hal lainnya, itu semua termasuk menolong agama Allah dan menyebarkan agama-Nya, yang mana hal itulah yang diridhai-Nya, dicintai dan diwajibkan kepada manusia.
Jika segi ini tidak berfungsi, karena tidak ada yang mendanainya, tidak ada yang menyerahkan bantuan kepada imam dan tidak ada yang memberikan sumbangan untuk para da’i demi kelangsungan mereka dalam melaksanakan tugas mereka, maka wajib dikeluarkan dari dana zakat. Hal ini demi terealisasinya kemaslahatan tersebut. Karena terkadang menyerahkan nafkah kepada mereka lebih penting daripada yang lainnya, seperti kantor-kantor, orang yang baru masuk Islam dan ibnu sabil, karena mereka bisa tabah menahan kesabaran, dan mereka tidak lebih penting daripada membantah kaum perusak dan kaum munafikin, menyebarkan ilmu Islam, mencetak mushaf dan buku-buku agama serta rekaman kaset-kaset Islami yang mengandung penjelasan tentang hakekat Islam dan tujuan-tujuannya, membedah isu-isu yang meragukan yang mengincar kaum muslimin yang lemah akalnya.
Jika kucuran dana terhadap masalah ini tidak ada atau terhenti, maka boleh disalurkan zakat untuk keperluan ini, karena zakat telah disyariatkan untuk kemaslahatan Islam dan menutup segala yang dapat merusaknya. Wallahu a’lam.
Shalawat dan salah semoga dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
[Fatawa Az-Zakah,disusun oleh Abu luz, hal. 137-140]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Kewajiban Dan Urgensi Zakat
Selasa, 2 Oktober 2007 09:12:35 WIB
KEWAJIBAN DAN URGENSI ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji bagi Allah semata dan shalawat serta salam atas Muhammad yang tiada lagi nabi sesudahnya, para keluarga dan sahabatnya. Amma ba’du.
Motivasi untuk menulis catatan ini ialah menasehati dan mengingatkan kewajiban zakat yang diremehkan oleh banyak umat Islam. Mereka tidak mengeluarkannya sesuai syari’at, padahal masalah zakat begitu agung dan kapasitasnya sebagai salah satu rukun Islam yang lima, yang bangunannya hanya bisa tegak di atasnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Islam itu dibangun di atas lima perkara : bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah” [Hadits ini telah disepakati keshahihannya]
Kewajiban zakat atas umat Islam merupakan salah satu prestasi Islam yang sangat menonjol dan perhatiannya terhadap berbagai urusan para pemeluknya, karena banyak manfaatnya dan kaum fakir miskin membutuhkanya.
MANFAAT ZAKAT
Pertama : Menguatkan ikatan kasih sayang di antara orang yang kaya dan orang yang miskin, karena jiwa itu ditakdirkan untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya.
Kedua : Membersihkan dan menyucikan jiwa serta menjauhkannya dari sifat kikir, sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dalam firmanNya.
“Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [At-Taubah : 103]
Ketiga : Membiasakan seorang muslim memiliki sifat dermawan dan lemah lembut kepada orang yang membutuhkan.
Keempat ; Mendatangkan keberkahan, tambahan dan pengganti, sebagaimana firmanNya.
“Artinya : Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya” [Saba : 39]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih.
“Artinya : Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman, Wahai anak Adam, nafkahkan (hartamu), maka Aku akan memberi nafkah kepadamu..”
Dan berbagai manfaat lainnya.
Ada ancaman yang sangat keras terhadap orang yang bakhil dengan hartanya, atau lalai mengeluarkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu” [At-Taubah : 34-35]
Setiap harta yang tidak ditunaikan zakatnya adalah simpanan, yang karenanya pemiliknya akan diadzab pada hari Kiamat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Setiap orang yang memiliki emas dan perak yang tidak menunaikan hak hartanya tersebut, pasti tatkala pada hari Kiamat kelak akan dibentangkan untuknya lempengan-lempengan terbuat dari api, lalu dia dipanggang di atasnya dalam Neraka Jahannam, kemudian lambung, kedua kening dan punggungnya diseterika dengannya. Setiap kali terasa dingin maka diulang lagi untuknya pada hari yang panjangnya 50.000 tahun hingga urusan di antara hamba diputuskan, lalu ia akan melihat jalannya ; apakah ke Surga atau ke Neraka”.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa slam menyebut pemilik unta, sapi dan kambing yang tidak menunaikan zakatnya. Beliau mengabarkan bahwa ia akan diadzab dengan hartanya itu pada hari Kiamat kelak.
Telah diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang diberi harta oleh Allah Azza wa Jalla, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, (maka) pada hari Kiamat hartanya dijelmakan menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang putih kepalanya, karena banyaknya racun pada kepala itu) yang berbusa di dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Ular itu mencengkeram dengan kedua rahangnya, lalu ular itu berkata, ‘Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu”.
Kemudian beliau membaca ayat ini :
“Artinya : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta-harta yang Allah berikan kepada mereka sebagai karunia-Nya itu menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sesungguhnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala urusan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Ali-Imran : 180]
JENIS HARTA YANG WAJIB DIZAKATI BERIKUT NISHABNYA
Zakat itu wajib pada empat jenis harta, yaitu : hasil bumi berupa biji-bijian dan buah-buahan, binatang ternak, emas dan perak serta barang perniagaan.
Keempat jenis ini terdapat nishab tertentu, yang kurang dari itu tidak wajib zakat.
Nishab biji-bijian dan buah-buahan adalah lima wasaq. Satu wasaq adalah 60 sha’ dengan sha’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi ukuran satu nishab dengan sha’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa kurma, kismis, gandum, beras dan sejenisnya ialah 300 sha’ dengan sha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu setiap satu sha’ setara dengan empat cakupan tangan orang berukuran sedang apabila kedua tangannya penuh.
Nishab binatang ternak berupa unta, sapi, kambing terdapat perincian yang jelas dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, bagi yang berminat, dapat menanyakan kepada ahli ilmu mengenai hal itu. Seandainya bukan karena bermaksud meringkas, niscaya kami terangkan semuanya agar lebih bermanfaat.
Nishab perak ialah 140 mitsqal, yang kadarnya dengan dirham Arab Saudi adalah 56 riyal (perak). Sedangkan nishab emas adalah 20 mitsqal, yang kadarnya dengan pound (uang standar emas) Arab Saudi ialah 11,3/7 pound Saudi.
Kewajiban zakat pada keduanya ialah 2,5% atas siapa saja yang memiliki emas atau perak yang telah mencapai nishabnya, baik keduanya atau salah satu dari keduanya dan telah genap setahun. Laba mengikuti pokok modalnya dan tidak memerlukan haul baru lagi ; sebagaimana hasil ternak mengikuti asalnya dan tidak memerlukan haul baru lagi, apabila asalnya sudah satu nishab.
Termasuk dalam kategori emas dan perak ialah uang kertas yang dipergunakan manusia pada masa sekarang, baik dinamai dirham, dinar, dolar atau nama-nama lainnya. Apabila nilainya telah mencapai nishab perak atau emas dan telah genap setahun, maka wajib dizakati.
Termasuk dalam kategori uang ialah perhiasan kaum wanita yang khusus terbuat dari emas atau perak. Apabila telah sampai nishab dan genap setahun, maka wajib dizakati, meskipun disiapkan untuk dipakai atau dipinjamkan, menurut salah satu dari dua pendapat ulama ; berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Setiap pemilik emas maupun perak yang tidak menunaikan zakatnya, pasti tatkala pada hari Kiamat kelak akan dibentangkan untuknya lempengan-lempengan dari api…” hingga akhir hadits.
Telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melihat pada tangan seorang wanita dua gelang terbuat dari emas, maka beliau bertanya, “Apakah kamu telah memberikan zakatnya?” Ia menjawab, ‘Belum’. Beliau bertanya :
“Apakah kamu merasa senang apabila Allah memakaikan kepadamu dengan keduanya pada hari Kiamat, yaitu dua gelang terbuat dari api?’. Maka ia pun menjatuhkan keduanya seraya berkata, ‘Keduanya untuk Allah dan RasulNya” [HR Abu Daud dan An-Nsa’i dengan sanad hasan]
Telah sah pula dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia memakai perhiasan terbuat dari emas, lalu ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini simpanan?’ Beliau menjawab, ’Sesuatu yang semestinya dizakati lalu dizakati, maka ia bukan simpanan”. Dan hadits-hadits lainnya yang semakna dengannya.
Adapun harta perniagaan, yaitu barang-barang yang disiapkan untuk dijual, maka dihitung di akhir tahun dan dikeluarkan zakatnya seilai 2,5% baik nilainya sama dengan harganya, lebih, atau kurang, berdasarkan hadits Samurah.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami supaya mengeluarkan zakat dari barang yang kami siapkan untuk dijual” [Abu Daud]
Termasuk dalam kategorinya ialah tanah yang disiapkan untuk memperjual belikan, bangunan, mobil, tempat penampungan air, dan berbagai barang lainnya yang disiapkan untuk diperjual belikan.
Adapun bangunan yang disiapkan untuk disewakan. Bukan untuk dijual, maka zakatnya pada sewanya itu, apabila telah genap setahun. Sedangkan barangnya itu sendiri tidak ada zakatnya, karena memang tidak disiapkan untuk diperjual belikan.
Demikian pula mobil pribadi dan taksi, tidak wajib dizakati, jika mobil tersebut tidak disiapkan untuk diperjual belikan. Pemilik mobil tersebut membelinya hanyalah untuk dipakai. Apabila pemilik mobil sewaan atau selainnya telah mendapatkan uang yang mencapai satu nishab, maka ia harus menzakatinya, apabila telah genap setahun, baik uang tersebut ia siapkan untuk nafkah, untuk menikah, untuk membeli barang, membayar utang, atau tujuan-tujuan lainnya ; berdasarkan keumuman dalil-dalil syar’i yang menunjukkan kewajiban zakat dalam perkara seperti ini.
Pendapat ulama yang shahih bahwa utang itu tidak menghalangi zakat, karena sebagaimana telah disinggung.
Demikian pula harta anak yatim dan orang gila wajib dizakati, menurut jumhur ulama, apabila telah mencapai nishabnya dan telah genap setahun. Wajib atas para wali mereka untuk mengeluarkan zakatnya dengan niat dari mereka pada saat genap setahun, berdasarkan keumuman dalil-dalil. Misalnya, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Muadz Radhiyallahu ‘anhu, ketika diutus kepada penduduk Yaman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari mereka yang kaya dan diberikan kepada mereka yang miskin”.
HAK ALLAH
Zakat adalah hak Allah, tidak boleh memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Tidak boleh seseorang mengambil manfaat bagi dirinya sendiri atau menolak kemudharatan, dan tidak pula dengan zakat itu supaya hartanya terjaga atau terelakkan dari keburukan. Tetapi wajib atas setiap muslim memberikan zakatnya kepada yang berhak, karena merekalah yang berhak menerimanya, bukan karena tujuan lain, disertai dengan jiwa yang bersih dan ikhlas karena Allah, sehingga ia berbeda dari tanggungannya dan berhak mendapatkan pahala dan ganti yang lebih baik.
SIAPA YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT?
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mejelaskan dalam Al-Qur’an tentang golongan yang berhak menerima zakat. Dia berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Ayat ini ditutup dengan dua nama Allah ; Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, sebagai peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya bahwa Dia Maha Mengetahui perihal hamba-hambaNya ; siapa di antara mereka yang berhak menerima zakat dan siapa yang tidak berhak menerimanya. Dia Maha Bijaksana dalam syariat dan ketentuanNya, sehingga Dia tidak meletakkan sesuatu kecuali pada tempatnya yang layak, meskipun sebagian manusia tidak mengetahui sebagian rahasia-rahasia hikmahNya, agar para hamba merasa tentram dengan syari’atNya dan ridha dengan hikmahNya.
Allah-lah Dzat yang dimohon, semoga Dia memberikan taufik kepada kita dan umat Islam untuk memahami agamaNya, jujur dalam berinteraksi denganNya, berlomba-lomba kepada apa yang diridhaiNya, dan selamat dari murkaNya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat. Semoga Allah sampaikan shalawat dan salam kepada hamba dan utusanNya, Muhammad serta keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku Fatawa Az-Zakah, edisi Indonesia Fatwa Seputar Zakat, Penyusun Muhammad Al-Musnid, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag, Penebit Darul Haq, Cetakan I Sya’ban 1424H]
Apakah Sah Sedekah Dari Orang Yang Berhutang
Senin, 1 Oktober 2007 01:13:16 WIB
APAKAH SAH SEDEKAH DARI ORANG YANG BERHUTANG?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sah sedekah dari orang yang berhutang ? Apa kewajiban syari’at yang gugur dari seorang yang mempunyai hutang ?
Jawaban
Shadaqah termasuk jenis infak yang dianjurkan secara syari’at, ia merupakan perbuatan baik kepada hamba-hamba Allah apabila tiba waktunya. Seseorang diberi ganjaran pahala karenanya, dan setiap orang akan berada di naungan sedekahnya pada hari kiamat. Dia tetap dikabulkan, sama saja apakah atas seseorang yang memiliki tanggungan hutang maupun tidak menanggung hutang, apabila telah sempurna syarat-syarat dikabulkannya amalan, yakni dilakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berasal dari usaha yang baik dan dilakukan pada tempat yang tepat.
Dengan dipenuhinya syarat-syarat ini, jadilah dia amal yang terkabul menurut ketetapan dalil syariat, tidak dipersyaratkan keharusan tiadanya hutang atas diri seseorang, akan tetapi apabila hutang itu meliputi seluruh harta miliknya maka perbuatan itu (bersedekah) bukanlah tindakan yang bijaksana, tidak juga masuk akal bahwa dia bersedekah –padahal sedekah hanyalah amalan sunnah bukan wjib- tapi membiarkan (tidak melunasi) hutang yang wajib dia bayar.
Hendaklah dia memulai dengan amalan wajib terlebih dahulu barulah kemudian bersedekah, para ulama telah berselisih tentang masalah orang yang bersedekah di saat menanggung hutang yang menghabiskan seluruh hartanya, sebagian dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya hal itu tidak boleh dia lakukan ; karena berakibat buruk pada orang yang berhutang, serta membuatnya terus memikul tanggungan hutang yang wajib ini.
Sebagian dari mereka mengatakan, ‘Tindakan itu boleh, tetapi dia menentang hal yang lebih utama’.
Yang terpenting hendaknya seseorang yang mempunyai hutang yang menghabiskan seluruh harta miliknya, tidak bersedekah sampai terbayarnya hutang ; karena wajib didahulukan daripada sunnah.
Adapun kewajiban-kewajiban syari’at yang diringankan bagi orang yang menannggung hutang sampai melunasinya :
Termasuk darinya haji, haji tidak wajib atas seseorang yang masih mempunyai hutang hingga dia melunasinya.
Adapun zakat, para ulama bersilang pendapat tentang apakah kewajiban itu gugur atas orang yang behutang ataukah tidak ? Sebagian dari ulama ada yang berkata, ‘Sesungguhnya (kewjiban) zakat gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sama saja apakah berupa harta yang konkrit maupun yang tidak konkrit (abstrak)’.
Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya zakat tidak gugur kewajibannya pada saat berhadapan dengan hutang, tetapi wajib atasnya mengeluarkan zakat dari semua harta yang ada di tangannya, walaupun dia menangggung hutang yang mengurangi nishab.
Sebagian dari mereka ada orang yang menjelaskan dengan berkata : “Jika harta itu termasuk harta abstrak yang tidak terlihat dan tidak tersaksikan, seperti uang dan harta perniagaan, maka kewajiban zakatnya gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sedangkan jika harta itu termasuk golongan harta konkrit seperti binatang ternak dan hasil bumi maka kewajiban zakatnya tidak gugur”.
Yang benar menurut saya : Bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur, sama saja apakah harta itu termasuk konkrit atau abstrak, bahwa setiap orang yang di tangannya terdapat harta yang mencapai nishab wajib maka wajib atasnya membayarkan zakat itu meski dia masih menanggugn hutang, itu karena zakat merupkan kewajiban atas harta berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [At-Taubah : 103]
Serta berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah menetapkan kewajiban zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka”. Hadits tersebut di dalam kitab shahih Bukhari menggunakan lafadz seperti ini, dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah ini menjadikan sisi ini terurai lepas, maka hendaknya jangan dipertentangkan antara zakat dan hutang ; karena hutang merupakan kewajiban pada tanggungan sedangkan zakat merupakan kewajiban pada harta, dengan demikian masing-masing dari keduanya diwajibkan pada tempat di mana yang lain tidak diwajibkan di sana, sehingga tidak mengakibatkan adanya pertentangan dan benturan di antara keduanya, pada waktu itu hutang tetaplah berada di dalam tanggungan si penghutang dan zakat tetap berada pada harta, dikeluarkan darinya pada tiap-tiap kondisi.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Furqon Syuhada dkk, Penerbit Pustaka Arafah]
Apakah Syarat Wajibnya Zakat ?
Rabu, 4 Oktober 2006 06:35:48 WIB
APAKAH SYARAT WAJIBNYA ZAKAT?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah syarat wajibnya zakat ?
Jawaban
Syarat wajibnya zakat adalah : Islam, merdeka, memiliki (mencapai)nishab dan tetatpnya harta, serta telah lewat satu tahun kecuali pada zakat Mu’syirat (buah atau bijian).
Adapun Islam : Karena seorang kafir tidak diwajibkan membayar zakat, tidak diterima darinya kalau dia mengeluarkan hartanya dengan nama zakat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” [At-Taubah : 54]
Akan tetapi pernyataan kami bahwa zakat tidak diwajibkan atas orang kafir dan tidak sah (diterima zakat) darinya tidak berarti bahwa dia akan dimaafkan dari dosa itu di akhirat, bahkan dia akan disiksa karenanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tia-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah dia perbuat, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling bertanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?”, Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian” [Al-Muddatstsir : 38-47]
Ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disiksa disebabkan pelanggaran mereka terhadap cabang-cabang ajaran Islam, sedangkan dia seperti itu pula.
Sedangkan Merdeka : Sebab seorang budak tidak memiliki harta, karena harta si budak adalah milik tuannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa yang menjual budak yang memiliki harta maka hartanya itu menjadi milik penjualnya, kecuali bila si pembeli mempersyaratkannya” [1]
Sehingga dia –kalau begitu- bukanlah si pemilik harta yang menjadikannya terbebani kewajiban zakat, apabila ditakdirkan bahwa seorang hamba sahaya mempunyai kepemilikan harta maka sungguh hartanya itu pada akhirnya akan kembali kepada majikannya, karena sang majikan berhak mengambil apa yang ada di tangannya, dengan dalil ini maka di dalam kepemilikannya terdapat kekurangan, tidak tetap sebagaimana tetapnya harta orang merdeka.
Adapun memiliki (mencapai) Nishab : Maknanya adalah bahwa terdapat pada seseorang harta yang mencapai nishab sesuai dengan yang ditentukan oleh syari’at, yang berbeda-beda sesuai perbedaan jenis harta, apabila tidak didapati pada seseorang harta yang mencapai nishab maka tidak ada kewajiban zakat atasnya, karena hartanya dianggap sedikit tidak cukup untuk menolong lainnya.
Nishab untuk binatang ternak didasarkan atas ukuran permulaan dan akhir (batas bawah dan batas atas) sedangkan untuk selainnnya didasarkan atas ukuran awal (batas bawah) sedangkan tambahannya dihitung berdasar kelipatannya.
Sedangkan lewatnya waktu setahun (Haul) : Adalah karena wajibnya zakat pada harta yang kurang dari setahun berakibat buruk pada orang-orang kaya, sedangkan pewajiban zakat pada saat lebih dari setahun mengakibatkan keburukan pada hak-hak orang yang berhak mendapat zakat (ahli zakat). Dalam kaitan itu dengan haul (waktu setahun) akan menyeimbangkan antara hak orang kaya dan hak ahli zakat.
Berdasarkan itu, seandainya seorang manusia mati misalnya, atau hartanya bangkrut sebelum genap setahun (haul), gugurlah kewajiban zakat, kecuali bila termasuk hal yang dikecualikan dari genapnya haul, yakni tiga macam ; laba perniagaan, hasil binatang ternak, dan mu’syirat.
Laba perniagaan haulnya adalah haul pokoknya, sedangkan hasil binatang ternak haul hasilnya adalah haul induknya, adapun mu’syirat haulnya adalah saat memanennya, mu’syirat adalah biji-bijian dan buah-buahan.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Al-Masaqat/Bab Seorang lelaki yang memilki tempat lewat atau tempat minum di tembok pekarangannya atau kebun kurma (2379). Muslim : Kitab Al-Buyu/Bab Orang yang menjual pohon-pohon korma yang berbuah (1543) (80)
Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak, Bolehkah Pajak Menggantikan Zakat?
Senin, 3 Juli 2006 14:09:24 WIB
PERBEDAAN ANTARA ZAKAT DAN PAJAK
Oleh
Prof. DR Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
[1]. Zakat : Adalah hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridhaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat.
Sedangkan Pajak : Adalah beban yang ditetapkan pemerintah, yang dikumpulkan sebagai keharusan dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum pada suatu segi. Dan pada segi lain, untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan lainnya yang dicanangkan oleh negara.
[2]. Zakat, ditunaikan dengan maksud ibadah (taqarrub) kepada Allah. Sedangkan nilai (makna) demikian ini tidak terpenuhi pada Pajak. Karena Pajak hanya bersifat keharusan yang ditetapkan oleh negara.
[3]. Zakat, adalah kewajiban yang ditetapkan langsung kadar ukurannya oleh syari’at, tanpa memberi peluang bagi hawa nafsu dan keinginan pribadi manusia untuk ikut dalam menetapkannya.
Sedangkan Pajak, ditetapkan oleh pemerintah, yang kadarnya dapat ditambah kapan saja, manakala pemerintah menginginkannya sesuai kepentingan maslahat pribadi dan masyarakat.
[4]. Zakat, telah ditetapkan tempat penyalurannya oleh syari’at. Bahwa golongan yang berhak menerima zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun Pajak, hanya dikumpulkan dalam kas negara, dan dibelanjakan menurut kepentingan yang berbeda-beda.
[5]. Zakat, merupakan kewajiban yang sudah ditetapkan dan bersifat kekal selama di bumi ini ada agama Islam dan ada kaum muslimin.
Adapaun Pajak, maka tidak memiliki sifat tetap dan kekekalan, baik dari segi jenisnya, ukuran minimal wajibnya, kadarnya, maupun tempat pembelanjaannya.
[Dinukil dari Kitab Az-Zakat hal. 75-80 oleh Prof. DR Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Penerjemah Ustadz M.Dahri, Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M]
BOLEHKAH PAJAK MENGGANTIKAN ZAKAT?
Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat Komite Fatwa tentang seorang muslim yang telah menentukan zakatnya, bolehkah ia menggunakan zakat itu untuk membayar pajak? Sah ataukah tidak /
Jawaban
Pajak harta yang dibayarkan si pemilik harta, tidak boleh dianggap zakat harta yang wajib dizakati. Akan tetapi, ia wajib mengeluarkan zakat yang diwajibkan, dan menyerahkannya kepada yang berhak secara syar’i, seperti yang telah dinashkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang yang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
Dipaksa Mengeluarkan Zakat Fithri Dengan Uang, Bolehkah Zakat Fithri Berupa Daging ?
Kamis, 27 Oktober 2005 07:20:11 WIB
ZAKAT FITHRI BERUPA UANG
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri ditunaikan pada awal-awal Ramadhan dan berupa uang .?
Jawaban.
Mengeluarkan zakat fithri pada awal-awal Ramadhan masih diperselisihkan ulama. Tetapi menurut pendapat terkuat tidak boleh, sebab zakat fithri hanya bisa disebut sebagai zakat fithri bila dilakukan di akhir Ramadhan mengingat fithri (berbuka puasa) berada di ujung bulan. Rasul-pun memerintahkan agar zakat fithri ditunaikan sebelum orang pergi shalat Ied. Disamping itu, ternyata para shahabat melakukannya sehari atau dua hari sebelum hari raya. Begitu pula, mengeluarkan zakat fithri berupa uang masih diperselisihkan ulama.
Tetapi menurutku, zakat fithri harus berupa makanan berdasarkan pernyataan Ibnu Umar berikut :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, menetapkan zakat fithri sebesar satu sha' tamar (kurma) atau satu sha' sya'ir (gandum)".
Abu Sa'id al-Khudry berkata :
"Artinya : Kami keluarkan zakat fithri pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, satu sha' makanan. Ketika itu makanan kami berupa kurma, gandum, buah zabi dan aqath (semacam mentega)".
Dari kedua hadits diatas dapat dipetik keterangan bahwa zakat fithri hanya dapat dipenuhi dengan makanan, sebab makanan akan lebih nampak kelihatannya oleh seluruh anggota keluarga yang ada. Lain halnya jika berupa uang yang bisa disembunyikan oleh sipenerimanya sehingga tak terlihat syi'arnya bahkan akan berkurang nilainya.
Mengikuti cara yang ditetapkan agama (syara') adalah yang terbaik dan penuh berkah. Namun ada saja yang mengatakan bahwa zakat fithri berupa makanan kurang bermanfa'at bagi si fakir. Tetapi perlu diingat bahwa makanan apapun akan bermanfaat bagi yang benar-benar fakirnya.
ZAKAT FITHRI BERUPA UANG TUNAI
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat fithri dengan uang dan apa alasan hukumnya .?
Jawaban.
Zakat fihtri hanya boleh berupa makanan saja, tidak boleh dengan harganya (uang). Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan zakat fithri satu sha' berupa makanan, buah kurma atau gandum sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Umar dan hadits Sa'id al-Khudry dalam bahasan sebelumnya.
Karena itu, seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fithri berupa uang dirham, pakaian atau hamparan (tikar). Zakat fithri mesti ditunaikan sesuai dengan apa yang diterangkan Allah melalui sabda Rasul-Nya. Tidak bisa dijadikan dasar hukum adanya sikap sebagian orang yang menganggap baik zakat fithri dengan uang, sebab syara' tidak akan pernah tunduk kepada otak manusia. Syara' itu berasal dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika zakat fithri telah ditetapkan melalui sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa satu sha' makanan, maka kertentuan tersebut mesti kita patuhi. Jika ada seseorang yang menganggap baik sesuatu yang menyalahi syara', hendaknya ia menganggap bahwa putusan otaknya itulah yang jelek.
DIPAKSA MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya orang dipaksa mengeluarkan zakat fithri harus dengan uang dan apakah hal ini memenuhi kewajibannya .?
Jawaban.
Yang jelas menurut kami, hendaklah ia mengeluarkannya jangan sampai terlihat menentang pengurus setempat. Namun di samping itu, untuk menjaga keutuhan hubungan dengan Allah, hendaklah mengeluarkan fithri sesuai dengan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa satu sha' makanan, sebab tuntunan pengurus setempat tidak sejalan dengan perintah syara'.
BOLEHKAH ZAKAT FITHRI BERUPA DAGING
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang desa tidak punya makanan untuk zakat fithri, maka bolehkan mereka menyembelih binatang lalu dibagikan dagingnya kepada para fakir .?
Jawaban.
Hal seperti itu tidak boleh dilakukan, sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, telah menetapkan bahwa zakat fithri harus berupa satu sha' makanan. Biasanya daging itu ditimbang, sedang makanan di takar. Perhatikan hadits yang diterangkan oleh Ibnu Umar dan Said al-Khudry sebelumnya.
Dengan demikian, pendapat terkuat menyatakan bahwa zakat fithri tidak bisa dipenuhi dengan uang dirham, pakaian atau hamparan. Juga tidak bisa dijadikan dasar hukum adanya pendapat yang menyatakan bahwa zakat fithri bisa dipenuhi dengan uang. Sebab selama kita punya ketetapan pasti dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sepeninggalnya, seseorang tidak diperkenankan berpendapat lain menurut anggapan baik akalnya dan membatalkan aturan syara'nya. Allah tidak akan menanyakan kepada kita tentang pendapat si fulan dan si fulan pada hari kiamat, tetapi kita akan ditanya tentang sabda Rasul-Nya :
"Artinya : Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata : 'Apakah jawabanmu kepada para rasul ?". [Al-Qashash : 65).
Coba bayangkan dirimu di hadapan Allah pada hari kiamat, di mana Allah telah menetapkan melalui sabda Rasul-Nya agar kamu menunaikan zakat fithri berupa makanan, maka mungkinkah kamu bisa menjawab ketika ditanya : "Apa jawabanmu terhadap Rasulullah tentang zakat fithri ? Mungkinkah kamu dapat mempertahankan dirimu dan berkata : "Demi Allah inilah madzhab si fulan dan inilah pendapat si fulan ? Tentu kamu tak akan berdaya dan tak bermanfaat jawaban seperti itu.
Yang pasti zakat fithri hanya dapat dipenuhi dengan berupa makanan yang berlaku di suatu negeri.
Jika kamu perhatikan pendapat ulama dalam masalah ini terbagi kedalam tiga kelompok. Pertama berpendapat bahwa zakat fithri bisa dikeluarkan berupa makanan dan berupa uang dirham. Kedua berpendapat bahwa zakat fithri tidak bisa dikeluarkan berupa uang dan tidak pula berupa makanan kecuali dalam lima macam ; padi, kurma, gandum, zabib dan buah aqah. Kedua pendapat ini saling berlawanan. Ketiga pendapat yang menyatakan bahwa zakat fithri bisa dikeluarkan dari segala makanan yang bisa dimakan orang, baik berupa beras, kurma, pisang, cengkeh, jagung bahkan daging bila memang sebagai makanan pokok. Dengan demikian, jelas apa yang ditanyakan oleh penanya tentang penduduk suatu kampung yang berzakat fithri dengan daging, tidaklah memenuhi syarat.
[Disalin dari Buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 174-179. terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Membayarkan Zakat Fithri Untuk Saudara Perempuan Dan Zakat Fithri Harus Dibagikan Di Negeri Setempat
Rabu, 26 Oktober 2005 08:05:06 WIB
MEMBAYARKAN ZAKAT FITHRI UNTUK SAUDARA PEREMPUAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang mahasiswa berkebangsaan Thailand dan saya belajar di salah satu universitas di Sudan. Kira-kira sebulan yang lalu datang berita yang menyedihkan dari negeri saya bahwa ayah saya meninggal dunia, sementara masih ada adik perempuan saya yang belum baligh. Wajibkah saya membayar zakat fithri untuk adik saya tersebut ? Perlu diketahui bahwa dia tidak mempunyai saudara yang bisa menanggung nafkahnya kecuali saya.
Jawaban
Jika ayah anda meninggal sebelum bulan Ramadhan berakhir, sementara tidak ada seorang kerabatpun yang membayar zakat fithri untuk adik perempuan anda, maka anda wajib membayar zakat tersebut jika anda mampu. Anda juga wajib mengirimkan nafkah untuk mencukupi kehidupannya sesuai dengan kemampuan anda, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Hendaklah orang yang mempunyai kelebihan (rizki) menginfakkan sebagian rizki yang telah Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan apa yang ada pada dirinya".[At-Thalaq : 7]
Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu alaihi wa sallam ditanya oleh seseorang.
"Artinya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang harus paling saya hormati (kepada siapa saya harus berbuat baik) ? 'Belaiu Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Ibumu", Orang itu bertanya lagi : 'Kemudian setelah itu siapa lagi ?'. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Ibumu". Orang itu bertanya lagi : Kemudian setelah itu siapa lagi ? 'Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Ibumu". Kemudian setelah itu siapa lagi ? Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab : Bapakmu, kemudian yang lebih dekat kemudian yang lebih dekat" [Hadits Riwayat Abu Dawud]
Disamping itu memberikan nafkah kepada adik anda termasuk perbuatan silaturrahim yang hukumnya wajib apabila tidak ada orang yang bisa memberikan nafkah kepadanya selain anda, sementara ayah anda tidak meninggalkan warisan yang cukup untuk biaya hidupnya.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala membimbing kalian berdua untuk mendapatkan kebaikan.
ZAKAT FITHRI HARUS DIBAGIKAN KEPADA FAKIR MISKIN DI NEGERI SETEMPAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Wajibkah zakat fithri diberikan kepada fakir miskin di negeri kita sendiri atau bolehkah diberikan pada orang lain ? Apabila kita sedang musafir 3 hari sebelum Ied bagaimana kita membeirkan zakat fithri tersebut ?
Jawaban
Menurut sunnah, memberikan zakat fithri adalah kepada fakir miskin di negeri kita sendiri pada pagi hari Iedul Fithri, sebelum shalat Ied. Dan dibolehkan juga memberikannya sehari atau dua hari sebelum shalat Ied atau diawali kira-kira hari ke 28 bulan Ramadhan.
Apabila seseorang pada hari-hari tersebut berada di negeri orang dia boleh mengeluarkan zakat fitrinya kepada fakir miskin di negeri tersebut, apabila negeri itu negeri muslim. Tapi apabila negeri tersebut negeri kafir, dia harus mencari fakir miskin yang muslim di negeri tersebut. Apabila dia masih ada di negerinya ketika sudah diperbolehkan mengeluarkan zakat fithri, maka (sebelum meninggalkan negerinya -pent) lebih baik dia memberikan zakat fithri kepada fakir miskin di negerinya. Karena maksud dikeluarkannya zakat fithri adalah memberikan keleluasaan (bantuan makanan) serta berbuat baik kepada fakir miskin setempat agar di hari tersebut mereka tidak usah minta-minta kepada sesama manusia.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan - Solo]
Membelanjakan Atau Menyalurkan Zakat Untuk Pembangunan Masjid ?
Jumat, 21 Oktober 2005 06:37:26 WIB
MEMBELANJAKAN ATAU MENYALURKAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MASJID ?
Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya membelanjakan zakat untuk pembangunan masjid ? Siapakah orang fakir itu ?
Jawaban
Pembelanjaan (penyaluran) zakat tidak boleh dilakukan kecuali kepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah, karena Allah menyebutkan hal itu dengan pola pembatasan yakni dengan "innama", Dia berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [At-Taubah : 60]
Sehingga tidak boleh dibelanjakan untuk pembangunan masjid, pengajaran ilmu dan semacamnya, sedangkan sedekah yang sunnah (bukan zakat) yang paling utama adalah disalurkan pada pos yang bermanfaat.
Adapun orang fakir yang berhak menerima zakat adalah orang yang tidak mampu mencukupi dirinya sendiri dan mencukupi keluarganya sepanjang tahun disesuaikan dengan waktu dan tempat, bisa jadi dengan seribu riyal di suatu waktu dan di suatu tempat dianggap sebagai orang kaya, sedangkan di waktu dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai kaya disebabkan oleh mahalnya biaya hidup, dan yang semisal dengan itu.
Pertanyaan.
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat digunakan untuk membangun masjid, melaksanakan firman Allah Ta'ala tentang keadaan ahli zakat wa fi sabilillah" [At-Taubah : 60] ?
Jawaban.
Sesungguhnya pembangunan masjid tidak masuk dalam lingkup kandungan makna firman Allah Subahanhu wa Ta'ala wa fi sabilillah karena makna yang dipaparkan oleh para mufasir (ahli tafsir) sebagai tafsir dari ayat ini adalah jihad fi sabilillah ; karena kalau kita katakan, Sesungguhnya yang dimaksud dari fi sabilillah adalah semua yang mengarah kepada kebaikan maka pembatasan pada firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir"
Menjadi tidak ada gunannya, padahal sebuah pembatasan seperti yang diketahui adalah penetapan hukum pada hal yang disebutkan dan menafikan selainnya. Apabila kita katakan, Sesunnguhnya wa fi sabilillah adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu menjadi tidak berguna, berkenaan dengan asal kata "innama" yang menunjukan adanya pembatasan.
Kemudian, sesungguhnya di dalam kebolehan pembelanjaan zakat untuk pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikan lainnya terdapat penelantaran kebaikan ; karena sebagian besar manusia dikalahkan oleh kekikiran diirnya. Apabila mereka melihat bahwa pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikannya boleh dijadikan tujuan penyaluran zakat, maka mereka akan menyalurkan zakat mereka ke sana, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tetap dihimpit kebutuhan selamanya.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Kategori Zakat
Bagaimana Cara Orang Yang Berdomisili Di Luar Negeri Mengeluarkan Zakatnya
Selasa, 18 Oktober 2005 16:58:49 WIB
BAGAIMANA CARA ORANG YANG BERDOMISILI DI LUAR NEGERI MENGELUARKAN ZAKATNYA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang lelaki berdomisili di luar negeri. Bagaimana ia cara mengeluarkan zakatnya ? Apakah ia mengirim zakatnya tersebut ke negeri asalnya ? Ataukah cukup membagikannya di negeri ia berdomisili ? Atau bolehkah sebagai wakilnya ia menugasi keluarganya untuk membagi-bagikan zakatnya ?
Jawaban
Hendaknya ia melihat cara manakah yang paling bermanfaat bagi para penerima zakat. Apakah lebih bermanfaat ia bagikan zakatnya itu di negeri asalnya, atau yang lebih bermanfaat ia kirimkan kepada kaum fakir di negeri lain ? Jika keduanya sama bermanfaat, maka sebaiknya ia membagikan di negeri tempat ia berdomisili.
[Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.69]
HUKUM MENGALOKASIKAN ZAKAT KE DAERAH LAIN.
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah boleh mengirim zakat kepada orang-orang yang berhak di negeri lain, yaitu negeri saya sendiri, karena saya sekarang berdomisili sementara di Saudi Arabia ? Semoga Allah senantiasa memberi berkah kepada Anda.
Jawaban
Boleh hukumnya mengirimkan zakat harta ke negeri lain berdasarkan pendapat yang benar, untuk sebuah maslahat yang jelas seperti kemiskinan yang sangat memperihatinkan, kaum muslimin di negeri-negeri tersebut sangat membutuhkannya dan lain-lain. Dan tidak boleh hukumnya jika dilakukan dengan tujuan mengistimewakan negeri tertentu padahal di dalam negeri masih banyak yang berhak menerimnya.
Cara mengetahui siapakah yang berhak dan yang tidak berhak adalah sebagai berikut : Jika penduduk suatu negeri masih diragukan apakah berhak menerima zakat ataukah tidak, sementara kerabat dia di negeri lain yang jauh sudah jelas sangat membutuhkan dan sangat menantikan uluran tangan dan perhatian, maka mereka tentunya lebih berhak. Menyalurkan zakat harta kepada mereka merupakan satu bentuk menyambung tali silaturahim
[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.53]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-SyarĆ¢€™iyyah Fi Al-MasaĆ¢€™il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]
Kategori Zakat
Hukum Zakat Emas Yang Dipakai Secara Berlebihan
Kamis, 13 Oktober 2005 15:46:08 WIB
HUKUM ZAKAT EMAS YANG DIPAKAI SECARA BERLEBIHAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada sebagian wanita mengenakan emas secara berlebihan, sementara mengenakannya memang halal, lalu bagaimana hukum zakat emas bila demikian .?
Jawaban
Emas dan sutera dihalalkan bagi kaum wanita tapi tidak bagi kaum pria, sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
"Artinya : Telah dihalalkan emas dan sutera bagi kaum wanita umatku, dan diharamkan bagi kaum pria"
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi dan dishahihkannya, dari hadits Abu Musa bin Al-Ays'ari Radhiallahu 'anhuma.
Para ulama berbeda pendapat tentang zakat perhiasan, apakah wajib mengeluarkan zakat perhiasan atau tidak .? Sebagian ulama berpendapat bahwa emas harus dizakatkan kecuali emas yang digunakan untuk perhiasan, maka menurut mereka tidak ada kewajiban zakat pada emas perhiasan, baik yang dikenakan maupun yang disimpan.
Ulama lainnya berpendapat bahwa wajib zakat pada emas perhiasan, dan inilah pendapat yang benar, yaitu wajib zakat pada emas perhiasan jika telah mencapai nishab dan telah mencapai haul karena dalilnya yang bersifat umum.
Nisab emas adalah sembilan puluh dua gram, jika emas perhiasan telah mencapai sembilan puluh dua gram maka emas perhiasan itu wajib dizakati, dan zakatnya itu adalah dua setengah persennya pada setiap tahun. Jadi jika jumlah emas itu seribu gram maka yang dizakatkan adalah dua puluh lima gramnya setiap tahun.
Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa seorang wanita datang menemui beliau dan di tangan putrinya melingkar dua gelang emas, maka beliau bersabda.
"Artinya : Apakah engkau mengeluarkan zakat ini (gelang emas)?". wanita itu menjawab : "Tidak", maka beliau bersabda. : "Apakah engkau senang jika Allah melingkarkan gelang padamu di hari Kiamat dengan dua gelang yang terbuat dari api .?" Perawi hadits ini, yaitu Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiallahu 'anhu berkata : Lalu wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan memberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : "Kedua gelang ini untuk Allah dan Rasul-Nya". Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad yang Shahih.
Berkata Ummu Salamah Radhiallahu 'anha, ia seorang wanita yang menggunakan kalung emas. "Wahai Rasulullah, apakah ini simpanan yang terlarang ?" beliau menjawab :
"Artinya : Jika harta itu telah mencapai nishab dan haul untuk dikeluarkan zakatnya maka zakatilah, sebab itu bukan barang simpanan". Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ad-Daruquthni dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
Dan telah dikeluarkan oleh Abu Daud dari hadits Aisyah Radhiallahu 'anha dengan sanad yang shahih, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menemuiku dan ditanganku terdapat perhiasan yang terbuat dari perak, maka beliau bersabda.
"Artinya : Apa ini wahai Aisyah ?" Aku menjawab : "Aku membuatnya sendiri agar aku berhias untukmu wahai Rasulullah", beliau bersabda. : 'Apakah engkau mengeluarkan zakat untuk hartamu itu ?" Aku menjawab : "Tidak atau apa yang Allah kehendaki", beliau bersabda : "Zakat yang engkau keluarkan itu dapat menyelamatkan engkau dari Neraka". Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Bulughul Maram.
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berzakat maka harta itu menjadi barang simpanan yang mana pemiliknya akan disiksa pada hari Kiamat, Na'udzu Billah.
[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 4/124]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 205- 207, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Hukum Zakat Perhiasan Yang Diproyeksikan Untuk Dipakai Dan Belum Dizakati
Selasa, 11 Oktober 2005 08:01:42 WIB
HUKUM MENJUAL EMAS YANG DIPAKAI DAN BELUM DIZAKATI
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya menjual emas yang beberapa waktu sebelumnya saya pakai dan belum mengeluarkan zakatnya. Saya mohon agar Anda menerangkannya kepada saya bagaimana menzakati harta itu, perlu diketahui bahwa saya menjualnya seharga empat ribu real .?
Jawaban
Jika Anda belum mengetahui kewajiban zakat kecuali setelah menjualnya, maka hal itu tidak masalah, tapi jika Anda telah mengetahui kewajiban zakat maka hendaknya Anda mengeluarkan zakatnya dari setiap satu ribu real, dua puluh lima real untuk satu tahun, begitu juga dengan tahun-tahun sebelumnya, Anda tetap diharuskan mengeluarkan zakat sesuai dengan harga emas di pasaran. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah dua setengah persen dari nilainya berupa mata uang yang berlaku. Adapun jika Anda tidak mengetahui kewajiban zakat kecuali pada tahun terakhir, maka wajib bagi Anda untuk mengeluarkan zakat pada tahun terakhir itu.
[Fatawa Al-Mar'ah, 2/42]
HUKUM ZAKAT PERHIASAN YANG DIPROYEKSIKAN UNTUK DIPAKAI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Bagaimana syari'at Islam mengenai zakat perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai ?
Jawaban
Perhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak yang diproyeksikan untuk dipakai, mengenai penzakatannya telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, baik terdahulu mupun sekarang. Pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada zakat pada perhiasan tersebut (yang diproyeksikan untuk dipakai), berdasarkan hal-hal dibawah ini.
[1]. Hadits yang diriwayatkan oleh Afiah bin Ayyub dari Laits bin Sa'ad dari Abu Az-Zubair dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau besabda.
"Artinya : Tidak ada zakat pada perhisan"
Afiah bin Ayyub menukil hadits ini dari Abu Hatim dan Abu Zar'ah, ia berkata tentang hadits ini : Hadits ini tidak bermasalah, dan hadits yang telah disebutkan ini dikuatkan oleh Ibnu Zauji dalam Tahqiqnya, dalam hal ini terdapat bantahan terhadap pernyataan Al-Baihaqi bahwa Afiah adalah seorang yang tidak dikenal dan haditsnya ini tidak benar.
[2]. Bahwa zakat perhiasan jika diwajibkan sebagaimana diwajibkan pada harta-harta yang telah ditetapkan kewajibannya, maka tentunya kewajiban ini telah dikenal sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya akan dilakukan pula oleh para imam pada masa setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan dengan demikian hal tersebut akan disebutkan dalam kitab-kitab mereka yang membahas tentang sedekah, namun kenyataannya, itu semua tidak pernah terjadi sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal".
[3]. Apa yang diriwayatkan oleh At-Atsram dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa ia berkata : Lima orang di antara para sahabat berpendapat, bahwa tak ada zakat pada perhiasan, mereka itu adalah : Aisyah, Ibnu Umar, Anas, Jabir dan Asma'. Riwayat ini dinukilkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Ad-Dirayah" dari Al-Atsram.
Al-Baji menyebutkan dalam Al-Muntaqa Syarh Al-Mu'atha : Hal ini tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan-perhiasan, adalah pendapat yang dikenal di antara pada sahabat, dan orang paling tahu tentang hal ini adalah Aisyah Radhiallahu 'anha, ia adalah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga tidak akan tertutup baginya pengetahuan tentang hal ini, juga Abdullah bin Umar, yang mana saudara perempuannya yang bernama Hafshah,adalah salah seorang istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tentunya tidak akan tertutup baginya untuk mengetahui hukum masalah ini.
Dalam "Kitabul Amwal" karya Abu Ubaidi disebutkan, bahwa tidak ada riwayat yang shahih dari para sahabat tentang adanya zakat perhiasan, kecuali dari Ibnu Mas'ud, saya katakan : Dalam riwayat kitab "Al-Mudawanah" dari Ibnu Mas'ud terdapat pendapat yang sesuai dengan pendapat para sahabat tadi, dalam "Al-Mudawwanah" yang ditulisnya disebutkan : Ibnu Wahab berkata : Dikhabarkan kepadaku oleh beberapa orang ahlul ilmi dari Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, Al-Qasim bin Muhammad, Sa'id bin Al-Musayyab, Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dan Amrah dan Yahya bin Sa'id bahwa mereka berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan.
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat yang tidak mewajibkan zakat, terlalu panjang jika harus dikemukakan semuanya. Adapun mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai berdalil pada hadits yang bersifat umum, seperti hadits.
"Artinya : (Zakat) pada Riqqah adalah seperempat dari sepersepuluh (dua setengah persen)".
Dan hadits.
"Artinya :..Dan yang kurang dari lima Uqiyah tidak ada sedekahnya".
Dalam kedua hadits ini tidak ada pengkhususan pada perhiasan sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal", dan diterangkan Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" bahwa kata "Riqqah" bagi bangsa Arab diartikan dengan dirham yang dicetak untuk digunakan sebagai alat penukar di kalangan manusia, sedangkan kata "Uqiyah" bagi bangsa Arab dalah menunjukkan pada dirham yang berjumlah empat puluh dirham setiap uqiyahnya.
Pada kenyataannya bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk digunakan adalah dari nash-nash marfu' yaitu : Hadits seorang wanita yang anaknya mengenakan dua gelang, hadits 'Aisyah yang menggunakan perhiasan perak, hadits Ummu Salamah yang menggunakan kalung emas dan hadits Fatimah binti Qais yang berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Pada perhiasan ada zakatnya"
Serta hadits Asma' binti Yazid tentang gelang-gelang emas, yang mana hadits-hadits menurut Asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hazim, bahwa beristidlal (berdalih) dengan hadits-hadits ini adalah tidak kuat karena hadits-hadist tersebut tidak shahih, dan tidak diragukan lagi ucapan-ucapan mereka lebih utama untuk didahulukan dari pada ucapan orang-orang yang kemudian, yang berusaha menguatkan riwayat-riawayat hadits ini.
Kesimpulannya adalah, bahwa kami berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai bedasarkan dalil-dalil yang shahih, yaitu sesuai dengan pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, Ahmad , Abu Ubaid, Ishaq dan Abu Tsaur serta beberapa orang sahabat yang telah disebutkan sebelumnya beserta para Tabi'in. Demikian juga dengan perhiasan yang diproyeksikan untuk dipinjamkan tanpa imbalan, perhiasan tersebut tidak wajib dizakati. Adapun perhiasan yang bukan untuk dipergunakan dan bukan untuk dipinjamkan tanpa imbalan maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/95]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 208- 212, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Hutang Tidak Menghalangi Zakat
Sabtu, 17 September 2005 07:46:33 WIB
HUTANG TIDAK MENGHALANGI ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang yang berjualan barang-barang dagangan dengan cara mengambil barang-barang tersebut di sebuah perseroan asing secara kredit (hutang). Ketika barang-barang tersebut sudah mencapai haul (sudah tiba saatnya di zakati), dia masih punya hutang kepada perseroan tersebut dalam jumlah yang sangat besar, tapi belum jatuh tempo. Beberapa hari sebelum haulnya tiba, dia melunasi seluruh hutangnya dengan niat agar dia tidak membayar zakat dari hutang tersebut. Berdosakah niat yang ia lakukan tersebut ?
Bagaimana cara pembayaran zakatnya apabila saat jatuh haul :
[1]. Jumlah seluruh barang dagangan yang disimpan sebesar 200.000 real
[2]. Jumlah hutang 300.000 real
[3]. Jumlah piutang 200.000 real
[4]. Uang simpanan di bank sebanyak 100.000 real
Apabila dia menunda pembayaran hutang tersebut sampai akhirnya tiba saat haul, lalu dia membayar hutangnya dengan uang simpanannya sendiri (bukan dengan uang hasil penjualan barang-barang terebut). Apakah pembayaran hutang tersebut bisa dianggap sebagai zakat ?
Jawaban
Orang yang membayar hutang sebelum hutang tersebut tiba masa haulnya, maka dia tidak wajib membayar zakatnya dan hal itu diperbolehkan. Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu Ć¢€˜anhu pernah memerintahkan kepada orang yang berhutang agar membayar hutangnya sebelum hutang tersebut mencapai haul. Begitu juga orang yang berhutang boleh menyegerakan membayar sebagian hutangnya setelah jatuh tempo. Ini merupakan pendapat yang paling shahih diantara pendapat para ulama. Karena hal ini mengandung maslahat (kebaikan) bagi orang yang berhutang dan yang berpiutang, serta hal itu jauh dari riba.
Adapun barang-barang dagangan yang berada di tangan anda, maka anda wajib mengeluarkan zakatnya apabila sudah sampai haul. Begitu juga tabungan anda yang berada di bank, anda wajib menzakatinya ketika tabungan tersebut sudah mencapai haul. Sedangkan harta anda yang berada di tangan orang lain (piutang) maka hal ini masih membutuhkan perincian lebih lanjut : Apabila anda masih mempunyai harapan bahwa harta tersebut akan kembali ke tangan anda, maka anda wajib menzakatinya apabila sudah sampai haul, karena harta tersebut tidak ubahnya seperti uang yang anda tabung di bank atau di tempat lain. Tetapi apabila anda tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan harta tersebut misalnya karena yang berhutang mengalami kebangkrutan, maka dalam hal ini anda tidak wajib menzakatinya. Demikianlah pendapat yang shahih di antara pendapat para ulama.
Sebagian ulama dalam hal ini berpendapat bahwa dia wajib menzakati piutangnya selama satu kali haul saja. Ini adalah pendapat yang bagus karena pendapat ini mengandung kehati-hatian akan tetapi hal ini tidak wajib, karena zakat itu merupakan kelebihan (dari suatu harta). Oleh karena itu tidak wajib zakat terhadap suatu harta yang belum diketahui apakah harta tersebut masih ada atau sudah hilang, misalnya seperti harta yang berada di tangan orang yang mengalami kebangkrutan atau dicuri orang, atau hilang atau binatang ternak yang tersesat dan lain-lain.
Adapun hutang yang menjadi tanggungan anda, maka anda harus mengeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai haul, demikianlah pendapat yang lebih shahih dari para ulama. Dan harta (hutang) yang berada di tangan anda yang akan anda serahkan kepada orang yang berpiutang, lalu harta tersebut mencapai haul sebelum anda serahkan kepada orang yang berpiutang, maka harta tersebut masih harus dizakati dan anda-lah yang wajib mezakatinya. Karena harta tersebut telah mencapai haul ketika masih berada di tangan anda. Dan Allah tempat meminta tolong
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan Ć¢€“ Solo]
Zakat Kepada Ibu, Zakat Kepada Anak Perempuan Yang Fakir Dan Zakat Kepada Saudara Yang Dekat
Minggu, 14 Agustus 2005 14:16:58 WIB
ERZAKAT KEPADA IBU
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Baz ditanya : Bolehkah seseorang mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada ibunya ?
Jawaban
Seorang muslim tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada kedua orang tuanya, juga tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada anak-anaknya, akan tetapi hendaknya seseorang memberi nafkah kepada kedua orang tua dan kepada anak-anaknya dari hartanya jika mereka membutuhkannya, demikian ini jika ia memang mampu memberi infaq kepada mereka.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/44]
BERZAKAT KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG FAKIR
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah mengeluarkan zakat kepada anak perempuan yang sudah menikah dan dalam keadaan membutuhkan ?
Jawaban
Setiap orang mempunyai ciri-ciri golongan yang berhak mendapatkan zakat pada dasarnya boleh memberikan zakat kepadanya, berdasarkan ini, jika seseorang tidak mampu memberi infak kepada anak perempuannya dan kepada anak laki-lakinya, maka hendaknya zakat tersebut diberikan kepada anak perempuannya, dan yang lebih baik dan lebih selamat adalah memberikan zakat tersebut kepada suami anaknya itu.
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/397]
ZAKAT KEPADA SAUDARA DEKAT
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Jika ada wanita-wanita yang telah bersuami yang mana mereka itu adalah kerabat seorang pria, misalnya sebagai keponakannya, sementara suami-suami mereka adalah orang-orang yang tidak kaya sehingga mereka kurang tercukupi kebutuhannya, apakah boleh bagi pria itu untuk mengeluarkan zakat kepada mereka ?
Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang menerima zakat adalah fakir miskin. Tentang boleh atau tidaknya memberikan zakat kepada mereka sebagaimana yang ditanyakan yang dianggap sebagai termasuk fakir miskin, harus dikaji terlebih dahulu tentang kefakiran mereka, jika kefakiran itu berupa kebutuhan nafkah dan pakaian, sementara para suami mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka tidak ada alasan untuk mencegah pemberian zakat kepada mereka, namun jika kefakiran itu berupa kebutuhan nafkah perlengkapan, seperti emas atau lainnya, maka tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.
[Majalah Al-Buhut Al-Islamiyah, 3/174]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal 220-221, penejemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Kategori Zakat
Hukum Memberi Shadaqah Kepada Pengamen Dan Pengemis
Senin, 13 Juni 2005 13:28:40 WIB
HUKUM MEMBERI SHADAQAH KEPADA PENGAMEN DAN PENGEMIS
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Syaikh yang terhormat, banyak pengamen dan pengemis, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak dari berbagai usia dan penampilan, mereka berkelilling di antara manusia di pasar-pasar, jalan-jalan, masjid-masjid dan tempat-tempat umum lainnya meminta sumbangan dan uluran tangan.
Menghadapi seperti situasi ini, banyak orang yang kebingungan, bagaimana menyikapi mereka. Apakah kami harus memberi mereka shadaqah dan zakat ? Kami mohon jawaban, semoga anda mendapat pahala dan Allah senantiasa memelihara dan menjaga anda.
Jawaban
Dalam hal ini hukumnya berbeda-beda tergantung kondisi dan personil masing-masing. Telah diketahui, bahwa banyak di antara para pengamen dan pengemis itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bisa meninggalkannya.
Jika anda melihat pengamen atau pengemis itu laki-laki yang tampak masih kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen atau pengemis sebenarnya dapat diketahui dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan "meminta-minta" sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan ucapan yang lancar serta hafal do'a-do'a lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita, dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik. Yang jelas, jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja beroperasi demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa, lalu serahkan ke lembaga yang menangani masalah pengamen. Wallahu a'lam.
[Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
Menyalurkan Zakat Untuk Kepentingan Situs Islam
Selasa, 17 Mei 2005 06:19:33 WIB
MENYALURKAN ZAKAT UNTUK KEPENTINGAN SITUS ISLAM
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Orang yang memperhatikan situs Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang sejalan dengan manhaj Salaf Shalih di jaringan informasi internasional (internet) kadang mendapatkan bahwa situs-situs itu telah menyebarkan informasi ilmiah dan dakwah seputar dunia Islam. Kami sendiri telah melihat dampak positif dari situs-situs itu, yang mana dari hari ke hari terus bertambah non Muslim yang memeluk Islam, di samping situs-situs itu pun berusaha membantah berbagai isu meragukan yang berkembang seputar Islam. Lain dari itu, situs-situs itu pun mempunyai peranan yang besar dalam memperbaiki aqidah, ibadah dan hal-hal besar lainnya. Pertanyaan saya, bagaimana hukum membayarkan zakat untuk menyokong anggaran situs-situs tersebut ? Kami mohon jawabannya, semoga anda mendapat pahala.
Jawaban,
Menurut kami, boleh membayarkan zakat untuk menyokong anggaran situs-situs tersebut, karena itu termasuk fi sabilillah yang merupakan salah satu jalur alokasi zakat. Karena mengajak menusia ke jalan Allah, membantah isu-isu meragukan yang ditebarkan oleh kaum musyrikin dan para ahli bid'ah adalah merupakan faktor-faktor terkuat yang menyebabkan manusia masuk Islam, yang mana hal ini merupakan tujuan besar dalam rangka memerangi kaum kuffar. Karena maksud memerangi kaug kuffar itu tidak sebatas membunuh jiwa dan menguasai harta serta negara, tapi juga mengajak mereka ke jalan Allah dan memasukkan mereka ke dalam Islam. Karena itulah dalam hadits Buraidah dari Muslim disebutkan.
"Artinya : Jika engkau berjumpa dengan musuhmu dari golongan orang-orang musyrik, ajaklah mereka masuk Islam"
Kemudian beliau mengatakan.
"Jika mereka menolak, maka mintalah mereka membayar upeti"
Selanjutnya beliau mengatakan.
"Jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka" [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Jihad wa Sair 1731]
Nabi Shallallahu alaihi wa salam tidak memerangi kecuali setelah mendahuluinya dengan mengajak kepada Islam. Tidak diragukan lagi, bahwa internet telah membuka dunia ilmu dan dawah dunia Islam, yang mana terbukti dengan banyaknya non Muslim yang memeluk Islam, dan juga internet berfungsi pula untuk membantah isu-isu meragukan seputar Islam, lain dari itu internet telah memerankan fungsinya yang sangat besar dalam memperbaiki akidah dan ibadah. Maka dengan demikian hal tersebut termasuk jalan Allah, sehingga boleh dibayarkan zakat untuk kepentingannya. Kemudian dianjurkan kepada kaum Muslimin untuk mendukung jaringan ini dengan memberikan sedekah dan sumbangan yang mampu diberikan, sehingga melahirkan hasil dan dampak yang nyata. Wallahu alam.
[Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, ada tandatangannya, tertanggal 24/7/1421H]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
Apakah Semua Orang Yang Mengulurkan Tangan Meminta Zakat, Berhak Menerima Zakat
Minggu, 21 Nopember 2004 06:50:42 WIB
APAKAH SEMUA ORANG YANG MENGULURKAN TANGAN MEMINTA ZAKAT BERHAK MENERIMA ZAKAT
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apkah semua orang yang mengulurkan tangannya meminta zakat berhak menerima zakat ?
Jawaban.
Tidak semua orang yang mengulurkan tangannya meminta zakat berhak menerimanya, karena di antara manusia ada orang yang mengulurkan tangannya minta uang, padahal dia orang kaya, orang semacam ini nanti akan datang pada hari kiamat dengan wajah yang tak berdaging sepotong pun -kita berlindung kepada Allah dari itu- dia datang pada hari kiamat, hari saat berdirinya para saksi, sedangkan wajahnya terhapus -kita berlindung kepada Allah darinya- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang minta kepada manusia akan harta mereka untuk memperbanyak hartanya maka sebenarnya dia hanyalah meminta bara api, tinggal dia menyedikitkannya atau memperbanyaknya" [1]
Dengan dalil ini saya peringatkan mereka orang-orang yang suka meminta-minta kepada orang lain dengan merengek-rengek padahal mereka berada di dalam gelimang kekayaan. Bahkan saya peringatkan semua orang yang menerima zakat padahal sebenarnya dia bukanlah orang yang berhak menerimanya, saya katakan kepadanya, 'Sungguh jika kamu mengambil zakat padahal kamu bukan termasuk golongan yang berhak menerimanya maka hakikatnya kamu sedang memakan barang haram -kita berlindung kepada Allah darinya- wajib atas setiap pribadi untuk takut dan bertakwa kepada Allah, sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaga kehormatannya, barangsiapa merasa cukup, maka Allah akan mencukupkannya perwira" [2]
Tetapi apabila mengulurkan tangan kepadamu seseorang yang menurut keyakinanmu dia berhak menerima zakat, maka berilah dia karena zakat itu menempati tempatnya, dengannya kamu akan berlepas diri dari tanggung jawabmu. Kemudian seandainya setelah itu ternyata dia bukanklah orang yang berhak menerimanya maka tidak perlu mengulangi zakat. Dalil dari pernyataan ini adalah kisah seorang lelaki yang mensedekahkan harta, pada awalnya dia bersedekah kepada perempuan pezina (pelacur), orang banyak memperbincangkan tindakannya yakni sedekah kepada pelacur, dia berucap Alhamdulillah. Lalu dia bersedekah lagi pada malam yang kedua, jatuhlah sedekahnya ke tangan seorang pencuri, orang banyak memperbincangkannya lagi, 'sedekah malam ini jatuh ke tangan pencuri'. Selanjutnya dia bersedekah lagi pada malam yang ketiga kepada orang kaya, lagi-lagi orang banyak mempercakapkannya, 'sedekah malam ini jatuh pada orang kaya', dia berucap 'Alhamdulillah, atas pelacur, pencuri dan orang kaya' dikatakan kepadanya.
"Sesungguhnya sedekahmu telah dikabulkan, si pelacur itu barangkali dia telah menahan diri (tidak melacur lagi) disebabkan oleh sedekahmu kepadanya, si pencuri itu barangkali telah merasa cukup lalu menahan dirinya dari mencuri lagi, sedangkan si kaya itu barangkali dia mendapat pelajaran berharga lalu dia bersedekah pula" [3]
Perhatikanlah, wahai saudaraku, terhadap niat yang benar bagaimana besar pengaruhnya, sehingga jika engkau memberi orang yang meminta-minta kepadamu lalu tampak jelas bahwa dia sebenarnya adalah seorang kaya padahal engkau meyakininya sebagai orang miskin maka kamu tidak perlu mengulang zakatmu.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Zakat/Bab Dibencinya Meminta-minta Kepada Manusia (1041)
[2]. [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/Bab Tiada Sedekah Kecuali Karena Ketidakkayaan (1427). Muslim : Kitab Zakat/Bab Keutamaan Sikap Perwira dan Sabar (1053)
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/Bab Apabila Seseorang Bersedekah Kepada Orang Kaya Sedang Dia Tidak Mengetahuinya (1421). Muslim : Kitab Zakat/Bab Tetapnya Pahala Orang Yang Bersedekah Meski Sedekahnya Jatuh Pada Tangan Orang yang Tidak Berhak (1022).
Mengeluarkan Zakat Fithri Pada Sepuluh Hari Terakhir, Menambah Zakat Fithri Dengan Niat Sedekah
Jumat, 5 Nopember 2004 23:12:43 WIB
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI PADA SEPULUH HARI TERAKHIR BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya mengeluarkan zakat fithri pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ?
Jawaban.
Zakat fithri disandarkan pada fithri (makan) ; karena fithrilah yang menjadi sebabnya, apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab penghapusan ini maka dia dikuatkan dengannya namun tidak didahulukan daripadanya, karena waktu yang paling afdhal (paling utama) dalam mengeluarkan zakat fithri adalah pada hari Idul Fithri sebelum melakukan shalat Ied. Akan tetapi boleh dilakukan sebelum Ied satu atau dua hari, untuk melonggarkan orang yang memberi maupun yang menerima, adapun sebelum itu maka pendapat yang kuat dari para ulama menegaskan bahwa tidak diperbolehkan, dengan dasar ini zakat fithri memiliki dua waktu ; waktu yang diperbolehkan yakni sebelum Ied satu atau dua hari dan waktu utama yakni pada hari Ied sebelum shalat, penundaannya sampai sesudah shalat adalah haram hukumnya dan tidak bisa mencukupi kewajiban zakat fithri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Ied maka itulah zakat yang diakabulkan, sedangkan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat maka itu dihitung sebagai sedekah dari berbagai macam sedekah" [Diriwayatkan oleh Abu Dawud : Kitab Zakat/Bab Zakat Fithri 1609, Ibnu Majah : Kitab Zakat/Bab Shadaqah Fithri 1827]
Kecuali apabila ada seorang lelaki yang tidak mengetahui kapan hari Iedul Fithri, misalnya dia berada di padang tak bertuan, dia tidak mengetahui kecuali saat waktu sudah terlambat, dan yang serupa dengan itu, maka tidak mengapa dia menunaikannya sesudah shalat Ied dan sudah mencukupi dari kewajiban zakat fithri.
MENAMBAH ZAKAT FITHRI DENGAN NIAT SEDEKAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkan menambah zakat fithri dengan niat sedekah ?
Jawaban.
Ya, diperbolehkan bagi seseorang untuk menambah zakat fithri dan berniat sedekah pada tambahannya itu. Dari dalil ini, apa yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang ini yang berkewajiban sepuluh takar zakat fithri misalnya, dia membeli satu karung berisi beras yang isinya lebih dari sepuluh takar zakat fithri, dia keluarkan bersama-sama baik dari dirinya maupun dari penghuni rumahnya, perbuatan ini boleh apabila diyakini bahwa isi karung itu setara dengan kewajiban zakatnya atau justru lebih banyak ; karena takaran zakat fithri bukanlah suatu keharusan mutlak kecuali sekedar untuk diketahui standar ukurannya, apabila kita telah mengetahui ukuran yang terdapat di dalam karung ini lalu kita berikan kepada orang fakir maka tidak mengapa.
MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI OLEH KELUARGANYA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang yang berada di Makkah sedangkan keluarganya berada di Riyadh, bolehkah dia mengeluarkan zakat fithri dari keluarganya di Makkah ?
Jawaban.
Boleh saja seseorang menyerahkan zakat fithri dari keluarganya apabila mereka tidak tinggal bersamanya di satu daerah, apabila dia bertempat tinggal di Makkah sedangkan mereka di Riyadh dia boleh menyerahkan zakat fithri mereka di Makkah. Namun yang paling utama adalah seseorang menunaikan zakat di daerah yang dia tinggali saat penyerahan zakat fithri itu. Bila saat itu di tinggal di Makkah sebaiknya menyerahkannya di Makkah, jika dia berada di Riyadh seyogyanya juga menyerahkan zakat di Riyadh. Sedangkan apabila sebagian keluarga bertempat tinggal di Makkah dan sebagian yang lain tinggal di Riyadh maka mereka yang berada di Riyadh menyerahkannya di Riyadh dan mereka yang berada di Makkah menyerahkan zakat fithrinya di Makkah ; sebab zakat fithri itu mengikuti badan manusia.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Lupa Mengeluarkan Zakat Fithri Sebelum Ied, Membagikan Zakat Fithri Kepada Kaum Fakir Negerinya
Jumat, 5 Nopember 2004 09:32:43 WIB
LUPA MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI SEBELUM IED
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya telah menyiapkan zakat fithri sebelum hari raya untuk saya berikan kepada seorang fakir yang saya kenal, tetapi saya lupa mengeluarkannya. Saya tidak ingat kecuali pada saat shalat Ied, dan saya mengeluarkannya sesudah shalat. Apakah hukumnya ?
Jawaban
Tidak diragukan bahwa sunnahnya ialah mengeluarkan zakat fithri sebelum shalat Ied, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi tidak berdosa atasmu mengenai apa yang telah Anda perbuat, sebab mengeluarkannya sesudah shalat itu berpahala, Alhamdulillah. Meskipun terdapat dalam hadits bahwa itu termasuk sedekah, tetapi itu tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan pahala. Kami berharap semoga hal itu diterima (di sisi Allah) dan menjadi zakat secara sempurna karena Anda tidak menunda dengan sengaja dan Anda terlambat hanya karena lupa. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam kitabNya yang agung.
"Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah" [Al-Baqarah : 286]
Telah diriwayatkan degnan shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
"Artinya : Allah Azza wa Jalla telah berfirman : Sungguh engkau telah melakukannya"
Dan Dia megabulkan doa hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak menghukum akibat kealpaan.
HUKUM MENUNDA ZAKAT MAL DAN FITHRI
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah boleh seseorang menyimpan zakat mal atau zakat fithri untuk diberikan kepada seorang fakir yang belum pernah ditemunya ?
Jawaban
Jika waktu tersebut pendek tidak lama, maka tidak mengapa menyimpan zakat tersebut hingga dapat diberikan kepada sebagian orang fakir dari kaum kerabatnya atau orang yang sangat fakir dan membutuhkan. Tetapi jangka waktu tersebut tidak lama, hanya beberapa hari saja. Ini dalam hubungannya dengan zakat mal. Adapun zakat fithri tidak boleh ditunda, tetapi wajib diberikan sebelum shalat Ied, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri dikeluarkansehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya tidak mengapa, dan tidak boleh ditunda sesudah shalat Ied.
DISUNNAHKAN MEMBAGI ZAKAT FITHRI KEPADA KAUM FAKIR NEGERINYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Berhubung dengan zakat fithri ; apakah zakat tersebut dibagikan kaum fakir negeri kami ataukah kepada selain mereka ? Jika kami bermusafir tiga hari sebelu Ied, maka apa yang kami lakukan mengenai zakat fitrah tersebut ?
Jawaban.
Yang disunnahkan adalah membagi-bagikan zakat fithri kepada kaum fakir negerinya pada pagi hari raya sebelum shalat, dan boleh membagi-bagikan sehari atau dua hari sebelumnya, mulai hari ke 28. Apabila orang yang berkewajiban zakat fithri tersebut melakukan perjalanan dua hari atau lebih sebelum hari raya, maka ia mengeluarkan zakat di negeri Islam yang dituju. Jika bukan negeri Islam, maka carilah sebagian muslim yang fakir dan serahkan kepada mereka. Jika perjalanannya sesudah kebolehan mengeluarkan zakat fthri (zakatnya diberikan kepada penduduk negerinya), maka tujuannya, antara lain ; berbuat kebajikan kepada mereka dan menghalang-halngi mereka dari perbuatan mengemis kepada orang lain pada hari-hari Idul Fithri.
[Disalin dari buku Fatawa Al-Zakah, edisi Indonesia Fatwa Seputar Zakat, Penyusun Muhammad Al-Musnid, terbitan Darul Haq]
Apakah Sedekah Dan Zakat Hanya Dikhususkan Pada Bulan Ramadhan Saja ?
Selasa, 2 Nopember 2004 11:19:19 WIB
APAKAH SEDEKAH DAN ZAKAT HANYA DIKHUSUSKAN PADA BULAN RAMADHAN SAJA ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sedekah dan Zakat hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja ?
Jawaban.
Sedekah tidak hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun dia adalah amalan sunat dan disyariatkan di setiap waktu. Zakat diwajibkan atas manusia untuk mengeluarkannya apabila haul hartanya telah sempurna, tidak perlu menunggu Ramadhan, Ya Allah kecuali apabila Ramadhan telah dekat, misalnya haul hartanya pada bulan Sya'ban lalu dia menunggu sampai Ramadhan, maka ini tidak mengapa. Adapun jikalau haul hartanya jatuh pada bulan Muharram misalnya, dia tidak boleh menundanya sampai Ramadhan, tetapi boleh dia dahulukan pada bulan Ramadhan sebelum tibanya bulan Muharram, tidak mengapa hal itu dilakukan. Penundaan dari waktu wajibnya tidak boleh dilakukan, karena kewajiban yang terkait dengan suatu sebab, harus dinaikan ketika muncul sebabnya itu dan tidak boleh diakhirkan darinya.
Juga, seseorang tidak memiliki jaminan ketika mengakhirkan zakat dari waktu semestinya, dia tidak memiliki penjamin yang tetap ada sampai waktu yang dia akhirkan, kalau dia mati padahal ketika itu zakat masih tersisa dalam tanggungannya, sementara ahli waris tidak mengeluarkan harta untuk membayar zakat itu karena mereka tidak mengetahui bahwa ada beban zakat atas si mayit. Begitu pula sebab-sebab selain itu yang dikhawatirkan akan menimpa seseorang yang menganggap remeh pembayaran zakatnya, maka dia bisa menjadi pendurhaka dalam pembayaran zakat.
Sedengakan sedekah tidak ada waktu yang ditetapkan untuknya, setiap hari sepanjang tahun adalah waktunya. Akan tetapi manusia lebih memilih menjadikan waktu bersedekah dan berzakat mereka pada bulan Ramadhan karena itu adalah waktu yang utama, saat kedermawanan dan mulia. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, tetapi beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, tatkala Jibril menjumpai beliau untuk bertadarus Al-Qur'an.
Akan tetapi kita harus mengerti bahwa keutamaan zakat atau sedekah di bulan Ramadhan merupakan jenis keutamaan yang berkaitan dengan waktu, apabila tiada keutamaan lain yang menjadi tambahan di sana maka di saat itu lebih utama dari pada waktu yang lain. Adapun jika disana terdapat keutamaan lain yang melebihi keutamaan waktu seperti orang-orang fakir sangat membutuhkan sedekah/zakat di suatu saat Ć¢€“selain Ramadhan- maka tidak sepantasnya dia mengakhirkan sedekahnya sampai bulan Ramadhan, yang selayaknya dia lakukan adalah selalu memperhatikan waktu dan masa yang lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir, lalu dia mengeluarkan sedekahnya pada saat itu, biasanya orang-orang fakir membutuhkan sedekah di luar bulan Ramadhan daripada di dalam bulan Ramadhan ; karena di bulan Ramadhan sedekah dan zakat banyak didapati oleh orang-orang fakir sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhannya dengan apa yang diberikan kepada mereka. Akan tetapi mereka sangat membutuhkan hal itu di sisa hari dalam satu tahun. Inilah masalah yang seyogyanya diperhatikan oleh manusia, sehingga dia tidak lebih mendahulukan waktu utama di atas segala keutamaan yang lain.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Hukum Memberikan Zakat Kepada Para Penuntut Ilmu Atau Pelajar?
Selasa, 2 Nopember 2004 01:17:04 WIB
HUKUM MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA PARA PENUNTUT ILMU
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya memberikan zakat kepada para penuntut ilmu (pelajar) ?
Jawaban
Penuntut ilmu yang mencurahkan kemampuan dan meluangkan waktunya untuk mencari ilmu syari’at meski dia mampu berusaha (mencari nafkah) tetap boleh diberi zakat, karena menuntut ilmu termasuk salah satu macam jihad fi sabilillah, Allah Maha Barakah dan Maha Tinggi menempatkan jihad di jalan Allah sebagai salah satu arah yang berhak dsalurkan zakat. Dia berfitman.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Sedangkan apabila penuntut ilmu itu mencurahkan kemampuan dan waktunya untuk mencari ilmu duaniawi, dia tidak diberi zakat.
Kami bisa berkata kepadanya, “Kamu sekarang ini bekerja untuk dunia, mungkin bagimu untuk berusaha mencari nafkah di dunia dengan bekerja sehingga kami tidak memberimu zakat”, akan tetapi bila kita dapati seseorang yang tidak mampu berusaha mencari makan, minum, tempat tinggal, tetapi dia sangat butuh menikah, sedangkan dia tidak memiliki harta apapun untuk menikah, bolehkah kita membantunya menikah dengan harta zakat ?
Jawabnya : Ya, kita boleh menikahkannya dengan harta zakat, dia bisa membayar mahar dengan sempurna, jika ditanyakan : ‘Mengapa keadaan bisa mengarah pada usaha menikahkan orang fakir dengan harta zakat menjadi boleh meskipun harta yang diberikan kepadanya cukup banyak ?”
Kami jawab : ‘Karena kebutuhan orang itu untuk menikah sudah sangat mendesak’ Di sebagian komunitas masyarakat bahkan sudah seperti kebutuhan makan dan minum, karena itulah para ulama berpendapat bahwa wajib hukumnya atas orang yang biasa memberi nafkah pada orang lain untuk menikahkannya jika dia memiliki kelonggaran harta, seorang bapak wajib menikahkan anaknya apabila si anak sudah membutuhkan pernikahan sedangkan dia tidak punya harta untuk menikah. Akan tetapi saya mendengar sebagian bapak melupakan keadaan mereka di waktu muda saat anaknya meminta menkah, sang bapak berkata kepadanya : ‘Menikahlah kamu dengan keringat keningmu (usaha ) sendiri”. Ini tidak boleh dillakukan, perbuatan itu haram atasnya bila dia sebenarya mampu menikahkan anaknya, kelak sang anak akan menuntutnya di hari kiamat apabila dia tidak mau menikahkannya padahal dia mampu menikahkannya.
Di sini muncul masalah : Jikalau seseorang memiliki beberapa anak laki-laki, di antara mereka ada yang sudah sampai usia menikah lalu dia menikahkannya, tetapi di antara mereka ada yang masih kecil, lalu bolehkah seorang bapak berwasiat atas sebagian hartanya untuk menjadi mahar bagi anak lelakinya yang masih kecil, karena dia telah memberikan sebagian harta kepada yang besar ?
Jawabnya adalah : Seorang bapak yang telah menikahkan anak laki-lakinya yang besar tidak boleh berwasiat (harta) untuk mahar anak lelakinya yang masih kecil, akan tetapi dia wajib menikahkan anaknya itu bila dewasa nanti dan telah mencapai usia menikah sebagaimana yang dilakukannya kepada anak yang pertama, sedangkan berwasiat sesudah mati untuk anak adalah perbuatan yang haram, dalil dari pernyataan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Allah memberi kepada setiap orang yang memiliki hak akan haknya, maka tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris” [1]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab Al-buyu’. Bab : Apa yang datang pada wasiat untuk ahli waris. Turmudzi, Bab-bab Wasiat, Bab Tentang tidak bolehnya berwasiat kepada ahli waris
Sebagian Ulama Mengatakan Tidak Boleh Zakat Fithri Dengan Beras ?
Senin, 1 Nopember 2004 12:39:05 WIB
SEBAGIAN ULAMA MENGATAKAN TIDAK BOLEH ZAKAT FITHRI DENGAN BERAS ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak boleh membayarkan zakat fithri berupa beras selagi macam barang yang ditetapkan syari'at masih ada, bagaimana pendapat anda .?
Jawaban.
Beberapa ulama mengatakan bahwa jika lima macam barang yakni gandum, kurma, tepung syair, kismis, dan keju masih ada maka zakat fithri tidak boleh diwujudkan dengan yang lainnya, pendapat ini bertentangan mutlak dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya boleh saja mengeluarkan zakat fithri berbentuk lima macam ini dan sejenisnya, bahkan sampai berbentuk dirham sekalipun, sehingga kedua pendapat ini saling bertentangan.
Yang benar adalah bahwa diperbolehkan mengeluarkannya dalam bentuk makanan yang biasa dimakan manusia, itu karena Abu Sa'id Al-Khudriy Radhiyallahu 'anhu seperti yang dituliskan dalam shahih Bukhari, berkata :
"Artinya : Kami mengeluarkan (zakat fithri) pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu sha' dari makanan, makanan kami adalah kurma, tepung syair, kismis dan keju" [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Zakat/bab Shadaqah Fithri Satu Sha Dari Makanan 1506]
Dia (Abu Said) tidak menyebutkan gandum juga, saya tidak pernah tahu bahwa gandum disebutkan dalam zakat Fithri pada hadits yang shahih secara jelas, akan tetapi tak ragu lagi bahwa gandum boleh digunakan untuknya, selanjutnya hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan kewajiban zakat fithri sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan kotor serta sebagai makanan untuk orang-orang miskin" [Bagian dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu Ć¢€“yang telah terdahulu-]
Sehingga yang benar adalah bahwa makanan yang biasa dimakan manusia boleh digunakan dalam mengeluarkan zakat fithri, meski tidak termasuk lima macam yang ditetapkan oleh para ahli fikih, karena macam makanan ini Ć¢€“seperti yang telah lewat dalilnya- empat diantaranya merupakan makanan manusia pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas dasar ini menjadi bolehlah mengeluarkan zakat fithri berupa beras. Justru saya berpendapat beras lebih utama daripada yang lain pada masa kita sekarang ini ; karena paling sedikit kesulitannya dan paling diharap oleh manusia.
Bersama kenyataan ini menjadi jelaslah bahwa perkara memang berbeda-beda, sungguh ada disuatu lembah suatu kelompok yang kurma lebih mereka sukai maka para manusia mengeluarkan zakat fithri berupa kurma, di tempat yang lain kismis lebih mereka sukai sehingga manusia mengeluarkan zakat fithri berbentuk kismis, demikian juga dengan keju dan selainnya, yang paling utama untuk setiap kaum adalah yang bermanfaat bagi mereka.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Zakat Tidak Boleh Diangkut Dari Tempat Asal Wajibnya, Zakat Fithri Mengikuti Orang Dimana Berada
Minggu, 31 Oktober 2004 08:53:11 WIB
ZAKAT TIDAK BOLEH DIANGKUT DARI TEMPAT ASAL WAJIBNYA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Suatu jama'ah telah mengangkat seorang wakil agar membeli gandum untuk dibagikan sebagai zakat fithri di Afganistan, bagaimana hukumnya ..?
Jawaban.
Yang mashur dari madzhab Hanabilah dalam masalah ini tidak boleh, sebab zakat fithri tidak boleh dipindahkan dari tempat asal diwajibkannya kecuali jika pada tempat tersebut tidak ada yang berhak menerimanya. Jika tidak ada yang berhak menerimanya, maka zakat tersebut hendaknya dibagikan kepada negeri yang terdekat. Penduduk setempat yang fakir itu lebih berhak menerima zakat. Jika dalam suatu negeri tidak ada orang fakir, maka zakat boleh disalurkan ke negeri lainnya. Begitupula menurut pendapat yang kuat, bolehnya menyalurkan zakat ke negeri lain tergantung kemaslahatan yang ada. Tetapi zakat fithri tidak sama dengan zakat harta dalam hal waktu. Zakat harta memiliki waktu yang sangat luas sedangkan zakat fithri sebaliknya hanya satu atau dua hari menjelang shalat Ied.
ZAKAT FITHRI MENGIKUTI ORANG DIMANA BERADA
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika seseorang berada di negeri Mekkah, bolehkah ia mengeluarkan zakat fithri di negerinya sendiri .?
Jawaban.
Zakat fithri itu mengikuti orangnya. Jika datang waktu zakat, dan kamu berada pada suatu negeri, hendaklah tunaikan zakat tersebut di negeri yang kamu berada. Umpanya, kamu berasal dari Medinah lalu ketika kamu berada di Mekkah tibalah waktu Ied, maka kamu wajib mengeluarkan zakat di Mekkah dan begitu pula sebaliknya. Jika kamu penduduk Mesir misalnya, atau Syam atau Irak, lalu hari Ied tiba ketika kamu berada di Mekkah, maka kamu wajib menunaikan zakat di Mekkah dan begitu pula sebaliknya.
MENERIMA ZAKAT FITHRI MELALUI WAKIL
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah seorang fakir yang ingin diberi zakat mewakilkan seseorang untuk menerimanya pada saat penyerahan ..?
Jawaban.
Hal itu boleh. Yakni, orang yang mau berzakat fithri boleh berkata kepada si fakir : "Kamu bisa mewakilkan kepada seseorang untuk menerima zakat fithri pada waktunya. Dan ketika tiba saatnya, aku akan serahkan zakat kepada wakilmu tersebut".
[Disalin dari Buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 174-179. terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Memberikan Zakat Harta Atau Fithri Kepada Kerabat Yang Fakir
Jumat, 29 Oktober 2004 05:37:25 WIB
MEMBERIKAN ZAKAT HARTA ATAU FITHRI KEPADA KERABAT YANG FAKIR
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sahkah memberikan zakat harta atau zakat fithri kepada saudara-saudaraku yang fakir yang pendidikannya ditanggung ibu setelah ditinggal wafat ayah kami, rahimahullah, dan sah pulakah memberikannya kepada saudara kami yang tidak fakir namun kami rasa merekapun membutuhkannya karena banyak orang lain yang memberinya .?
Jawaban.
Memberikan zakat kepada keluarga adalah lebih utama ketimbang kepada yang lain, sebab berzakat kepada keluarga punya dua nilai, nilai sedekah dan nilai shilaturahmi kecuali jika keluarga tersebut telah menjadi tanggungan biaya hidup yang berzakat itu sendiri, maka tidak boleh diberi zakat. Namun jika saudara-saudara yang disebutkan itu dipastikan dan harta kamu tak akan cukup membiayainya, maka tak menjadi halangan untuk diberi zakat. Begitu pula, jika mereka punya hutang kepada pihak lain, maka kamu boleh membayarnya dari harta zakat, sebab hutang kerabat itu tak mesti harus dipenuhi oleh kerabatnya pula. Membayar hutang pihak lain dari hasil zakat merupakan hal yang dibolehkan. Bahkan jika anakmu atau ayahmu punya hutang dan tak mampu dibayar, maka kamu boleh membayarnya dengan hasil zakat dengan syarat bila tidak dapat dipenuhi dengan nafkah wajib.
MENYALURKAN HASIL ZAKAT EMAS KEPADA PEJUANG AFGHANISTAN
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah menyalurkan hasil zakat emas kepada para pejuang Afghanistan ..?
Jawaban.
Memang hal itu dibolehkan, baik berupa zakat emas, uang dirham, perdagangan atau zakat lainnya, sebab para pejuang Afganistan termasuk para pejuang di jalan Allah. Jihad di jalan Allah merupakan salah satu pos yang berhak mendapatkan penyaluran zakat sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, utuk memerdekakan budak sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". [At-Taubah : 60]
MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA SAUDARA PEROKOK YANG TIDAK MENDAPATKAN KEBUTUHAN HIDUPNYA.
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang saudara tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya namun ia sendiri termasuk perokok berat sehingga setengah kebutuhan hidupnya habis oleh biaya rokok, bolehkah ia diberi hasil zakat harta dan dibayarkan hutangnya..?
Jawaban.
Tak diragukan bahwa merokok itu haram. Orang yang membiasakan merokok, berarti ia senantiasa berbuat maksiat. Terbiasa dengan dosa-dosa kecil maka lambat laun akan terjerumus berbuat dosa besar. Karena itu, kami sarankan kepada saudara-saudaraku yang suka merokok hendaklah taubat kepada Allah dengan cara menjauhinya agar badan sehat dan harta hemat, sebab jelas sekali merokok itu dapat merusak kesehatan dan memboroskan harta.
Selanjutnya menurut kami jika seseorang suka merokok dan ternyata fakir, maka sebaiknya harta zakat diberikan langsung kepada istrinya agar dibelikan kepada kebutuhan hidupnya. Atau bisa saja diberikan kepada perokok tadi dengan syarat ditanya dulu apakah harta zakat itu akan dibelikan kepada kebutuhan pokok atau tidak .? Ketika diberi zakat, kami menuntut pula agar ia didampingi oleh seorang wakil agar membeli hal-hal yang pokok terpenuhi dan terhindar dari hal-hal yang dilarang. Sebab barang siapa yang memberi uang kepada seseorang lalu dibelikannya untuk rokok, berarti ia telah membantu berbuat dosa dan termasuk ke dalam larangan Allah berikut :
"Artinya : Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ,..... " [Al-Maidah : 2]
Begitu juga, orang tersebut boleh dilunasi hutangnya dari hasil zakat.
[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 172-174, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri Dengan Uang?
Rabu, 27 Oktober 2004 05:54:38 WIB
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah ditanya : Apakah hukum menyerahkan uang senilai zakat fithri untuk dibelikan makanan dan diberikan kepada faqir miskin di negeri lain .?
Jawaban
Alahmdulillah wahdahu Ashalaatu was salama 'ala Rasulillah Nabiyina Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam wa 'ala alihi washahbihi wa ba'du.
Allah berfirman :
"Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" [Al-Hasyr : 7]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan agama kami ini apa yang tidak ada dasar syari'atnya maka perbuatan tersebut tertolak" [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim]
Sesunguhnya ada sebagian orang pada zaman ini yang berusaha untuk merubah ibadah-ibadah dari ketentuan-ketentuan syar'i dan contohnya banyak. Misalnya zakat fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan supaya zakat itu dikeluarkan dengan makanan di negeri si pembayar zakat pada akhir bulan Ramadhan dan diberikan kepada orang-orang miskin negeri itu. Dan sungguh telah ditemukan, ada orang yang berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan uang sebagai ganti dari makanan, ada yang berfatwa tentang bolehnya menyerahkan uang untuk dibelikan makanan di negara lain yang jauh dari negeri orang yang berpuasa itu dan dibagikan disana. Ini adalah merubah ibadah dari ketentuan syar'i. Zakat fitrah itu punya (ketentuan) waktu pengeluarannya yaitu pada malam Idul Fitri atau dua hari sebelumnya menurut para ulama dan juga zakat fitrah itu punya (kententuan) tempat pembagiannya yaitu di negeri yang memenuhi satu bulan, tempat tinggalnya muslim tersebut dan zakat juga punya orang-orang yang berhak menerimanya yaitu orang-orang miskin di negeri si pembayar zakat dan zakat itu punya (ketentuan) jenis yaitu makanan. Maka kita harus terikat dengan ketentuan-ketentuan syar'i ini, jika tidak maka zakat itu menjadi ibadah yang tidak sah dan tidak bisa membebaskan diri dari kewajiban.
Imam yang empat telah sepakat atas wajibnya membagikan zakat fithri di negeri orang yang berpuasa selama ada orang yang berhak menerimanya disana dan mengenai hal itu telah dikeluarkan ketetapan oleh Ha'aitu Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Saudi Arabia. Maka wajiblah mengikutinya dan tidak usah memperdulikan orang-orang yang mengajak untuk menyelisihinya, karena seorang muslim harus memiliki semangat kuat untuk memenuhi kewajibannya agar tanggungannya terbebas, dan berhati-hati dalam agamanya. Seperti inilah dalam semua ibadah hendaklah dilaksanakan sesuai ketentuan, baik jenis, waktu ataupun pembagiannya, janganlah merubah satu jenis ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada jenis lain.
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Hafizhahullah ditanya : Akhir-akhir ini banyak terjadi perdebatan diantara beberapa ulama negara lain seputar zakat fithri yang disyari'atkan, serta kemungkinan dikeluarkannya uang senilai zakat fithri. Bagaimana pendapat Syaikh .?
Jawaban
Yang diperintahkan dalam zakat fithri adalah menunaikannya dengan cara yang telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan mengeluarkan satu sha' makanan pokok penduduk negeri tersebut dan diberikan kepada orang-orang faqir pada waktunya. Adapun mengeluarkan uang senilai zakat fitrah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat, mereka tidak pernah mengeluarkan uang padahal mereka lebih tahu tentang sesuatu yang boleh dan sesuatu yang tidak boleh.
Ulama yang mengatakannya bolehnya mengeluarkan uang, mereka katakan hal itu berdasarkan ijtihad, Tetapi apabila ijtihad menyelisihi nash maka ijtihad itu tidak dianggap.
Pernah ada yang mengatakan kepada Imam Ahmad Rahimahullah : "Ada yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz mengambil uang dalam zakat fitrah". Maka Imam Ahmad berkomentar : "Mereka meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil mengatakan "kata si Fulan". Padahal Ibnu Umar berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma atau satu sha' gandhum"
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena orang yang memperbolehkan hal tersebut.
Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.
"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) " [An-Najm : 3-4]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu 'anhu, dia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar"
Dan Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu 'anhu, dia berkata.
"Artinya : Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha' kurma atau gandum atau anggur kering" dalam satu riwayat "satu sha' keju"
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam zakat fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari'atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu 'anhum. Kami belum pernah mengetahui ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar'i juga telah dinukil periwayatannya. Allah berfirman.
"Artinya : Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah" [Al-Ahzab : 21]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran, bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar'i yang telah disebutkan.
Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan Mulia.
Washallahu ' Ala Nabiyina Muhammadin wa'ala alihi wa shahbihi.
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya : "Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?"
Jawaban
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang. Dan yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk mengerluarkan uang
[Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan halaman 918 - 927]
Catatan : Satu Sha' sama dengan kira-kira 2.5 kg
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Zakat Peralatan Dan Mobil Yang Dijual Dengan Angsuran
Kamis, 5 Agustus 2004 11:18:12 WIB
ZAKAT PERALATAN DAN MOBIL YANG DIJUAL DENGAN ANGSURAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Seorang laki-laki menjual sejumlah mobil dengan angsuran. Apakah ia harus membayar zakatnya sekalipun belum menerima seluruh pembayarannya, atau cukup menzakati uang yang sudah terkumpul saja dari angsuran-angsuran tersebut ?
Jawaban.
Ia hanya menzakati uang yang sudah terkumpul dari angsuran-angsuran tersebut. Adapun yang masih ada tenggang waktunya di tangan orang lain yang dianggap berkecukupan dan bisa diambil dari mereka dengan mudah pada saat yang telah disepakati, maka ia langsung menzakatinya. Tapi jika yang tersisa itu berada di tangan orang-orang yang fakir atau sering kesulitan keuangan, maka tidak perlu menzakatinya saat itu, tetapi setelah menerimanya. Ini hukum zakat hutang.
Ada juga yang mengatakan, bahwa hutang yang tertangguh tidak ada zakatnya kecuali setelah tiba waktunya, jika tiba waktunya, maka dilihat orang yang berhutang itu, jika ia seorang yang kesulitan, maka tidak ada zakatnya sampai ia menerimanya, walaupun itu berlangsung sampai lima tahun, maka zakatnya cukup satu tahun saja saat setelah diterimanya. Jika orang yang berhutang itu orang yang berkecukupan, sementara anda sebdiri tidak sedang membutuhkan uang tersebut, maka anda tetap harus menzakatinya, karena uang itu statusnya sebagai titipan.
[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Az-Zakah, dikumpulkan oleh Abu Luz, hal.96]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Zakat Rumah Dan Kendaraan, Zakat Barang Yang Disewakan
Sabtu, 22 Mei 2004 07:21:17 WIB
ZAKAT RUMAH DAN KENDARAAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Seorang lelaki memiliki beberapa buah kendaraan dan rumah yang disewakan, uang hasil persewaan itu dipakainya untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sebagai catatan, ia tidak pernah menyimpan uang itu genap setahun. Apakah ia wajib mengeluarkan zakatnya ? Bilakah kendaraan dan rumah wajib dikeluarkan zakatnya dan berapakah jumlah yang harus dikeluarkan zakatnya ? Wassalamu ‘alaikum warah-matullahi wa barakatuhu.
Jawaban.
Jika kendaraan atau rumah tersebut digunakan untuk tempat tinggal atau disewakan maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Namun jika dipergunakan untuk diperjual belikan, maka nilai barang tersebut wajib dikeluarkan zakatnya setiap kali genap satu haul. Jika uang itu ia gunakan untuk kebutuhan rumah tangga, atau untuk jalan-jalan kebaikan atau kebutuhan lainnya, sebelum genap satu tahun, maka tidak ada kewajiban zakat atas anda. Beradasarkan dalil-dalil umum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berkenaan dengan masalah ini. Dan berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan supaya mengeluarkan zakat atas barang yang dipersiapkan untuk didagangkan.
[Syaikh Ibnu Baz, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhamad Al-Musnad, hal.30]
ZAKAT BARANG YANG DISEWAKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya mempunyai gedung yang disewakan. Apakah saya menzakati harga pokoknya atau cukup menzakati hasil penyewaannya ? Tolong beritahu saya, semoga anda mendapat pahala.
Jawaban
Zakatnya hanya pada hasil penyewaan saja jika telah dimiliki selama satu tahun. Jika menggunakannya sebelum genap setahun, maka gugurlah kewajiban zakat itu. Adapun untuk harga bangunan tersebut, tidak ada zakatnya, karena bangunan itu tidak diproyeksikan untuk dijual.
Demikian juga setiap barang yang diproyeksikan untuk digunakan atau disewakan, tidak ada zakat pada harganya, adapun zakatnya adalah pada hasil penyewaannya.
[Fatawa Al-Lu’lu Al-Makin min Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, hal 140-141]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 270-271 Darul Haq]
Zakat Bangunan, Toko Dan Tanah
Rabu, 12 Mei 2004 11:29:34 WIB
ZAKAT BANGUNAN, TOKO DAN TANAH
Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya mempunyai seorang saudara kaya raya. Sebagian hartanya ia investasikan dalam bentuk bangunan, toko dan tanah. Seluruhnya adalah investasi yang profit (menghasilkan). Saya telah menasehatinya agar membayar zakat atas modal harta perniagaannya itu. Ia mengatakan bahwa yang wajib dibayar zakatnya hanyalah uang hasil persewaan investasinya bila telah genap satu tahun. Sementara modal dasarnya tidak perlu dikeluarkan zakatnya. Dan apabila setiap kali menerima uang hasil sewa, langsung dialokasikan untuk biaya operasional bangunan, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, baik uang hasil penyewaan maupun modal dasarnya. Kecuali bila uang hasil penyewaan itu telah genap satu haul sebelum dialokasikan untuk bangunan. Perlu diketahui bahwa banyak teman-teman saudara saya itu yang melakukan cara serupa. Apakah cara seperti itu Dibenarkan Dienul Islam ? Dan apakah pelakunya tidak terkena dosa ? Dan barang berharga apakah yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya, baik modal dasar maupun keuntungannya hingga genap satu tahun ? Apakah ada batasan tertentu dalam masalah ini atau tidak ada perbedaan antara yang banyak dengan yang sedikit ?
Jawaban.
Ada beberapa jenis harta yang dimiliki seorang insan.
Harta yang berupa uang wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab dan telah genap satu haul. Harta yang berupa hasil-hasil pertanian, wajib dikeluarkan zakatnya berupa biji-bijian dan buah-buahan pada hari panen. Adapun tanah pertaniannya tidak terkena zakat.
Harta berupa tanah atau bangunan yang disewakan wajib dikeuarkan zakatnya dari hasil uang penyewaannya jika telah genap satu haul dan mencapai nishab. Adapun tanah dan bangunannya tidak terkena zakat.
Sementara harta yang diproyeksikan untuk jual beli baik berupa tanah, bangunan, barang-barang lain, juga wajib dikeluarkan zakatnya bila telah genap satu haul. Dengan catatan hitungan haul keuntungan adalah mengikuti haul modal pokoknya apabila modalnya telah dihitung sebagai nishab.
Harta berupa binatang ternak wajib dikeluarkan zakatnya, jika telah mencapai nishab dan telah genap satu haul. Wallahu waliyut taufiq
[Lajnah Da’imah, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.28-29]
ZAKAT TANAH
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya memiliki sepetak tanah yang tidak saya pergunakan dan sengaja saya biarkan untuk digunakan bila ada keperluan mendadak. Apakah saya wajib membayarkan zakat tanah itu ? Jika wajib, apakah saya harus menetapkan harga tanah itu setiap genap satu haul ?
Jawaban.
Anda tidak berkewajiban membayar zakat atas tanah tersebut. Sebab yang wajib dibayarkan zakatnya adalah harganya bila dipersiapkan untuk dijual belikan. Tanah, bangunan, mobil, permadani dan sejenisnya, tidak termasuk barang yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kecuali jika barang-barang tersebut dipersiapkan untuk diperdagangkan, maka wajib dikeluarkan zakatnya dari nilai harganya. Apabila tidak dipersiapkan untuk perniagaan sebagaimana yang anda sebutkan dalam pertanyaan di atas, tidaklah wajib dikeluarkan zakatnya.
[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.26]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 273 Darul Haq]
Zakat Tanah Yang Dipersiapkan Untuk Diperjualbelikan
Jumat, 30 April 2004 06:37:52 WIB
ZAKAT TANAH YANG DIPERSIAPKAN UNTUK DIPERJUALBELIKAN
Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Imiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Imiah Wal Ifta ditanya : Apa hukumnya mengeluarkan zakat dari tanah yang disiapkan untuk diperjual belikan ?
Jawaban.
Wajib hukumnya membayar zakat atas tanah yang disiapkan untuk diperjualbelikan. Sebab tanah itu dianggap sebagai barang perniagaan, dan termasuk dalil umum wajibnya mengeluarkan zakat dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, di antaranya firman Allah.
"Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". [At-Taubah : 103]
Dan berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu ia berkata : "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari barang yang dipersiapkan untuk didagangkan"
Itulah pendapat jumhur ulama dan merupakan pendapat yang benar. Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad.
[Lajnah Da'imah, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.27]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Jurasuy edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
Tidak Boleh Menyerahkan Zakat Kepada Ibu Dan Orang Yang Meninggalkan Shalat
Rabu, 31 Maret 2004 09:47:59 WIB
TIDAK BOLEH MENYERAHKAN ZAKAT KEPADA IBU DAN ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah saya boleh menyerahkan sejumlah harta kepada ibu saya dan menganggapnya sebagai zakat ? Perlu diketahui bahwa ayah saya masih memberi nafkah kepadanya dan keadaannya juga baik-baik saja, alhamdulilah.
Demikian pula saya mempunyai seorang saudara laki-laki yang mampu bekerja dan belum menikah, sementara dia tidak menjaga shalat lima waktu (semoga Allah memberi petunjuk kepadanya), apakah saya boleh menyerahkan zakat kepadanya ? Berilah saya jawaban semoga Allah senantiasa menjaga Anda.
Jawaban.
Anda tidak boleh menyerahkan zakat anda tersebut kepada Ibu anda, sebab ibu bapak tidak termasuk orang yang berhak menerima zakat. Dan juga ibu anda tersebut telah tercukupi kebutuhannya oleh bapak anda.
Sementara saudara lelaki anda itu, maka tidak boleh menyerahkan zakat kepadanya selama ia masih meninggalkan shalat. Sebab shalat merupakan rukun Islam yang terpenting setelah dua kalimah syahadat. Dan juga orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja kafir hukumnya.
Ditambah lagi ia seorang yang berkemampuan dan sanggup berusaha. Bilamana ia membutuhkan nafkah, maka orang tuanyalah yang berhak memenuhinya, sebab orang tuanyalah yang bertanggung jawab atas dirinya dalam nafkah selama mereka berkemampuan.
Semoga Allah memberi hidayah kedapanya dan membimbingnya kepada jalan yang benar serta melindunginya dari keburukan dirinya, dari godaan syetan dan teman-teman yang jahat.
[Syaikh Ibnu Baz, Fatawa Az-Zakah, disusun oleh Muhammad Al-Musnad, hal.61]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Bolehkah Zakat Perusahaan Dibayarkan Kepada Para Karyawannya
Kamis, 25 Maret 2004 09:51:30 WIB
BOLEHKAH ZAKAT PERUSAHAAN DIBAYARKAN KEPADA PARA KARYAWANNYA.
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Di antara karywan sebuah perusahaan komersil, ada yang berhak menerima zakat. Bagaimana hukum memberikan zakat perusahaan kepada mereka ?
Jawaban.
Jika para karyawan tersebut kaum muslimin yang fakir, maka tidak mengapa membayarkan zakat kepada mereka, tapi sekedar hak mereka, tidak boleh dijadikan sebagai gaji atau upah kerja, dan tidak boleh juga dimaksudkan untuk membangkitkan ke ikhlasan mereka atau agar mereka betah bekerja. Akan lebih baik bila penyerahannya dilakukan secara tersembunyi, atau melalui pihak ketiga sehingga para karyawan penerima itu tidak menyadari bahwa zakat itu berasal dari perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini untuk menepis keraguan. Wallahu a'lam.
Pertanyaan.
Konon salah seorang karyawan saya mempunyai hutang. Bolehkah saya membantunya dengan zakat harta saya ?
Jawaban.
Ia boleh menerima zakat harta anda, dengan syarat ia memang tidak mampu melunasinya dan penghasilannya (upahnya) setelah dialokasikan untuk menafkahi kelaurganya tidak ada lebihnya yang cukup untuk melunasi hutang tersebut. Lain dari itu, anda pun dengan itu tidak boleh bermaksud untuk memotivasinya dalam bekerja atau untuk menumbuhkan keikhlasannya bekerja pada anda serta dengan tidak mengurangi gaji/upahnya dan tidak melebihi yang dibutuhkannya. Untuk itu, terserah anda. Wallahu aĆ¢€™lam
[Fatawa Al-Lu'lu Al-Makin min Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, hal 141]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Kategori Zakat
Cara Membayar Zakat Harta
Kamis, 18 Maret 2004 06:47:23 WIB
CARA MEMBAYAR ZAKAT HARTA
Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Seorang pegawai menabung gaji bulanannya dalam jumlah yang berubah-ubah setiap bulan. Kadang uang yang ia tabung sedikit dan kadang banyak. Sebagian dari uang tabungannya itu ada yang telah genap satu haul dan ada yang belum. Sementara ia tidak dapat menentukan uang yang telah genap satu tahun. Bagaimanakah caranya membayarkan zakat uang tabungannya .?
Pertanyaan ke 2.
Seorang pegawai lainnya memiliki gaji bulanan yang selalu ditabungnya dalam kotak tabungan. Setiap hari ia isi kotak tabungan itu dengan sejumlah uang dan dalam waktu yang tidak begitu jauh ia juga mengambil sejumlah uang untuk nafkah sehari-hari sesuai dari kebutuhan dari kotak itu. Bagaimanakah cara ia menentukan uang tabungan yang telah genap satu tahun ? Dan bagaimanakah caranya mengeluarkan zakat uang tabungan itu ? Sementara sebagaimana yang diketahui, tidak semua uang tabungannya itu telah genap satu haul !
Jawaban.
Pertanyaan pertama dan kedua sebenarnya tidak jauh berbeda. Lajnah juga sering disodorkan pertanyaan serupa, maka Lajnah akan menjawabnya secara tuntas, supaya faidahnya dapat dipetik bersama.
Jawabannya sebagai berikut : Barangsiapa memiliki uang yang telah mencapai nishabnya, kemudian dalam waktu lain kembali memperoleh uang yang tidak terkait sama sekali dengan uang pertama tadi, seperti uang tabungan dari gaji bulanan, harta warisan, hadiah, uang hasil penyewaan rumah dan lainnya, apabila ia sungguh-sungguh ingin menghitung dengan teliti haknya dan tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak kecuali sejumlah harta yang benar-benar wajib dikeluarkan zakatnya, maka hendaklah ia membuat pembukuan hasil usahanya. Ia hitung jumlah uang yang dimiliki untuk menetapkan haul dimulai sejak pertama kali ia memiliki uang itu. Lalu ia keluarkan zakat dari harta yang telah ditetapkannya itu bila telah genap satu haul.
Jika ingin cara yang lebih mudah, lebih memilih cara yang lebih sosial dan lebih mengutamakan fakir miskin dan golongan yang berhak menerima zakat lainnya, maka ia boleh mengeluarkan zakat dari seluruh uang yang telah mencapai nishab dari yang dimilikinya setiap kali telah genap satu haul. Dengan begitu pahala yang diterimanyaa lebih besar, lebih mengangkat derajatnya dan lebih mudah dilakukan serta lebih menjaga hak-hak fakir miskin dan seluruh golongan yang berhak menerima zakat.
Hendaklah jumlah yang berlebih dari zakat yang wajib dibayarnya diniatkan untuk berbuat baik, sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Allah atas nikmat-nikmatNya dan anugrahNya yang berlimpah. Dan mengharap agar Allah menambah karuniaNya itu bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Jika kamu bersyukur maka Aku akan tambah nikmatKu bagi kamu". [Ibrahim : 7]
Semoga Allah senantiasa memberi taufiq bagi kita semua.
[Fatawa Lil Muwazhafin Wal Ummat, Lajnah Da'imah, hal 75-77]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Cara Mengeluarkan Zakat Uang Yang Ditabung Pada Akhir Tahun
Senin, 15 Maret 2004 09:20:23 WIB
CARA MENGELUARKAN ZAKAT UANG YANG DITABUNG PADA AKHIR TAHUN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang Muslim menabung sejumlah uangnya, bagaimana cara menghitung zakatnya di akhir tahun.?
Jawaban
Hendaknya seorang Muslim menzakati semua harta yang dimilikinya baik yang berupa uang maupun barang dagangan jika telah satu tahun dimiliki. Harta yang dimilikinya sejak Ramadhan harus dizakati pada Ramadhan berikutnya, juga uang gaji atau barang dagangan yang dimiliki sejak Sya'ban hatus dizakati pada Sya'ban berikutnya, juga harta yang dimilikinya sejak Dzulhijjah harus dizakati pada Dzulhijjah berikutnya.
Demikianlah jika harta-harta tersebut telah dimiliki selama setahun penuh, maka dizakati pada setiap awal tahun. Jika sipemilik ingin mengeluarkan zakat sebelum genap setahun untuk kemaslahatan syar'i, maka boleh juga, bahkan ia akan memperoleh pahala yang besar. Adapun kewajiban mengeluarkannya hanya apabila telah genap setahun.
[Majalah Al-Buhuts, edisi 35, hal.98-99, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Juraisy edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
Berzakat Kepada Saudaranya Tanpa Sepengetahuan Suaminya
Jumat, 5 Maret 2004 10:34:44 WIB
BERZAKAT KEPADA SAUDARA PEREMPUAN YANG FAKIR YANG TELAH MENIKAH
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika seorang memiliki saudara perempuan yang telah menikah dan semuanya dalam keadan fakir, bolehkah saudari orang itu boleh menerima zakat dari saudara-saudaranya ?
Jawaban
Nafkah seorang wanita adalah kewajiban bagi suaminya, dan jika suami itu seorang yang fakir maka bagi saudara-saudara istrinya hendaklah memberi zakat kepada saudara perempuan mereka itu agar ia mendapat nafkah untuk dirinya sendiri dan untuk suaminya serta untuk anak-anaknya. Bahkan jika sang istri ini memiliki harta yang wajib dizakati, maka hendaknya mengeluarkan zakat hartanya itu kepada suaminya agar suaminya itu dapat memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya.
[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 8/157]
BERZAKAT KEPADA SAUDARANYA TANPA SEPENGETAHUAN SUAMINYA
Ole
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah boleh bagi seorang wanita untuk mengeluarkan shadaqah dari hartanya sendiri atas nama salah seorang saudaranya yang telah meninggal tanpa sepengetahuan suaminya, dan apakah hukumnya jika yang disedekahkan itu adalah harta suaminya .?
Jawaban
Boleh bagi seorang wanita untuk mensedekahkan hartanya sendiri untuk salah seorang saudaranya yang telah meninggal demi mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan maksud agar pahala dan faedahnya kembali kepada mereka, karena ia berkuasa terhadap hartanya sendiri dan ia bebas untuk mengeluarkan hartanya itu selama masih dalam batasan-batasan yang telah disyari'atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bersedekah adalah perbuatan baik yang mana pahalanya akan sampai kepada orang yang bersedekah atas namanya jika Allah menerimannya. Adapun jika wanita itu bersedekah dari harta suaminya dan suaminya tidak mencegah perbuatan itu, maka boleh bagi wanita itu untuk bersedekah tanpa sepengetahuan sang suami. Akan tetapi jika suaminya melarang hal tersebut maka tidak boleh bagi si istri untuk bersedekah tanpa sepengetahuan suami.[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 8/157]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal 220-221, penejemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Zakat Kepada Suami Yang Berhutang Dan Zakat Kepada Keponakan
Jumat, 5 Maret 2004 10:30:37 WIB
BERZAKAT KEPADA SUAMI YANG BERUTANG
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Bolehkah seorang istri mengeluarkan zakat perhiasan kepada suaminya, karena sang suami pegawai yang berpangkat rendah dan memiliki utang yang cukup besar .?
Jawaban
Tidak ada masalah bagi wanita yang mengeluarkan zakat perhisaannya atau zakat yang bukan perhiasan kepada suaminya yang fakir atau memiliki utang yang tidak mampu dilunasinya menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, berdasarkan sifat keumuman dalil-dalil tentang zakat, diantaranya firman Allah.
"Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin ...." [At-Taubah : 60]
BERZAKAT KEPADA KEPONAKAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Baaz ditanya : Bolehkah suami saya mengeluarkan zakat untuk harta saya, sedangkan ia adalah orang yang memberi saya harta, dan apakah boleh saya memberikan zakat kepada keponakan saya yang berstatus yatim sedangkan keponakan saya itu adalah pemuda yang beranjak dewasa dan ingin menikah .?
Jawab
Anda wajib mengeluarkan zakat dari harta yang Anda miliki jika harta Anda itu telah mencapai nisab atau melebihinya, bila harta itu berupa emas atau perak atau harta lainnya yang wajib dizakati. Dan jika suami Anda telah mengeluarkan zakat untuk harta Anda dengan izin Anda maka hal itu tidak masalah. Begitu juga jika ayah Anda atau saudara Anda atau orang selain keduanya mengeluarkan zakat atas nama Anda dengan seizin Anda, maka yang demikian itu tidak mengapa. Anda boleh memberikan zakat kepada keponakan Anda sebagai pertolongan baginya untuk menikah jika ia lemah dalam segi materi.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/43]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal 218-219, penejemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Menghitung Zakat Perhiasan Dan Cara Mengeluarkannya
Rabu, 3 Maret 2004 23:06:02 WIB
MENGHITUNG ZAKAT PERHIASAN DAN CARA MENGELUARKANNYA
Oleh
Syaikh Abdullah Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Abdullah Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah seorang wanita menghitung perhiasannya yang hendak ia keluarkan zakatnya ? Apakah berdasarkan nilainya atau beratnya ? Apakah ia harus mengeluarkan zakat dalam bentuk emas yang sejenis ataukah dalam bentuk uang yang senilai ? Dan bagaimanakah ukuran nishab dan zakatnya itu ?
Jawaban
Jika perhiasan diproyeksikan untuk perniagaan atau bukan untuk digunakan, maka wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan itu, ini adalah pendapat yang tidak diperselisihkan oleh ulama.
Zakat yang dikeluarkan adalah berupa nilai dari harga perhiasan itu jika diproyeksikan untuk perniagaan (diperjual belikan), maka nilai yang harus dikeluarkan adalah dua setengah persen dari harga perhiasan itu.
Adapun jika emas perhiasan itu tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperjual belikan melainkan hanya berjaga-jaga (simpanan) maka zakat dari perhiasan adalah beratnya, dengan demikian jika berat emas perhiasan itu telah mencapai sembilan puluh dua gram, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah dua setengah persen dari berat emas yang ada, dan boleh baginya untuk mengeluarkan emas yang akan dizakatkan itu dalam bentuk uang atau perak seharga emas yang akan dikeluarkan.
[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/108-109]
ZAKAT EMAS YANG DIPROYEKSIKAN UNTUK DIPINJAMKAN
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah wajib zakat pada emas yang digunakan wanita atau untuk dipinjamkan pada rekannya tanpa imbalan .? Jika diwajibkan menzakatinya, bagaimana cara menzakatinya .?
Jawaban
Wajib zakat pada perhiasan yang digunakan wanita untuk berhias atau untuk dipinjamkan, baik berupa emas ataupun perak, karena kedua jenis barang itu termasuk dalam keumuman dalil yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah yang mewajibkan zakat pada emas dan perak, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menuyimpan emas dan perak dan tidak menafakahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan medapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan". [At-Taubah : 34-35]
Dan sebagaimana yang dinyatakan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
"Artinya : Tidaklah orang yang memiliki emas dan perak yang tidak memenuhi haknya, kecuali pada hari Kiamat nanti dibuatkan baginya lempengan-lempengan yang terbuat dari api, lalu dipanaskan dalam neraka Jahannam, kemudian ia disetrikakan oleh itu pada bagian lambungnya, dahinya, dan punggungnya, setiap kali lempengan itu dingin maka akan dipanaskan seperti semula, yang mana satu harinya seukuran lima puluh ribu tahun, hingga Allah menentukan ketetapan-Nya bagi hamba-hambanya, dan setelah itu ia akan mengetahui jalannya, menuju Surga atau ke Neraka".
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Al-'Ash : Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bersama anak perempuannya yang ditangannya terdapat dua gelang emas yang tebal, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Apakah engkau telah menzakati ini .?, wanita itu menjawab : "Tidak", beliau bersabda : "Apakah engkau senang jika Allah memberimu gelang karena itu pada hari Kiamat nanti terbuat dari api Neraka". Abdullah berkata : Maka wanita itu memberikan kedua gelang itu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata : "Keduanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya".
[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 16/122]
MENGELUARKAN ZAKAT SESUAI NILAI HARGA BERATNYA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Dalam mengeluarkan zakat perhiasan, apakah dibolehkan dengan ukuran harga perhiasan itu ataukah harus dengan ukuran beratnya saat mengeluarkan zakatnya sesuai dengan harga berat emas tersebut .?
Jawaban
Zakat perhiasan tidak dikeluarkan dengan ukuran harga saat dibelinya melainkan zakat tersebut dikeluarkan sesuai dengan harga berat perhiasan saat tiba masanya kewajiban mengeluarkan zakat yaitu setelah satu tahun. [ibid, 21/63]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 204- 209, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Bagaimana Mengeluarkan Zakat Perhiasan Emas
Rabu, 3 Maret 2004 23:01:53 WIB
APAKAH LEBIH BAIK MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa hukum Islam tentang perhiasan yang digunakan wanita, apakah wajib dizakati ? Ataukah untuk kehati-hatian lebih baik menzakatinya .?
Jawaban
Mengenai masalah ini, sebagaimana yang telah Anda ketahui, adalah masalah khilafiyah, yakni ada perbedaan di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan wanita yang diproyeksikan untuk digunakan, karena perhiasan itu termasuk dalam kategori pakaian yang dibutuhkan dan termasuk kebutuhan untuk dipakai, maka tidak ada zakat pada perhiasan wanita. Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah : Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi'i, Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim serta banyak ulama lainnya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa diwajibkan zakat pada perhiasan wanita berdasarkan dalil-dalil yang mereka sebutkan dalam masalah ini, diantaranya adalah Madzhab Abu Hanifah serta beberapa ulama lainnya.
Yang jelas, barangsiapa yang ingin berhati-hati dan ingin berzakat dari perhiasannya maka hal itu adalah sesuatu yang baik. Dan mereka yang mengatakan, bahwa tidak ada zakat pada perhiasan wanita, mereka berdalih dengan hadits-hadits yang diperdebatkan.
BARU TAHU DIWAJIBKAN ZAKAT PADA PERHIASAN SEKARANG, BAGAIMANA DENGAN WAKTU YANG TELAH LALU
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang wanita yang telah bersuami, umur saya telah mendekati empat puluh satu tahun. Sejak sekitar dua puluh empat tahun yang lalu saya mempunyai beberapa emas yang tidak diproyeksikan untuk perdagangan. melainkan untuk berhias dan terkadang saya menjualnya lalu hasilnya ditambah dengan dana lain untuk membeli barang yang lebih bagus dari itu. Sekarang saya masih memiliki sebagian dari perhiasan itu, dan saya telah mendengar diwajibkannya zakat pada emas yang diproyeksikan untuk perhiasan, saya mohon kiranya Anda berkenan menerangkan tentang hal ini pada saya. Jika zakat itu diwajibkan pada diri saya, maka bagaimana hukumnya dengan tahun-tahun lalu yang tidak saya keluarkan zakatnya, dan perlu diketahui bahwa saya tidak bisa memperkirakan emas yang saya miliki dalam beberapa thun itu ?
Jawaban
Wajib bagi Anda untuk mengeluarkan zakat sejak ketika Anda telah mengetahui bahwa zakat diwajibkan pada perhiasan. Adapun tahun-tahun yang telah berlalu yaitu tahun-tahun sebelum Anda mengetahui adanya kewajiban zakat, maka tidak ada kewajiban zakat untuk itu, karena keterangan hukum-hukum syari'at diberlakukan setelah adanya pengetahuan tentang ketetapan hukum tersebut. Harta yang wajib dizakatkan itu adalah dua setengah persennya jika perhiasan itu telah mencapai nishab, yaitu sembilan puluh dua gram pada perhiasan emas, maka jika perhiasan emas itu telah mencapai jumlah tersebut atau lebih maka mengeluarkan harta sebagai zakatnya sebesar dua setengah persennya setiap tahunnya, sedangkan nishab perak adalah enam ratus empat puluh empat gram atau senilai uang yang seharga perak sejumlah itu, zakat yang dikeluarkan adalah dua setengah persennya.
Adapun intan berlian dan batu-batuan lainnya yang dijadikan perhiasan, maka semua itu tidak ada kewajiban zakat, tapi jika digunakan untuk berniaga maka dikenakan kewajiban zakat sesuai dengan harga emas dan perak jika telah mencapai nishab. [Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/114]
BAGAIMANA MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN EMAS YANG MENGANDUNG CAMPURAN SELAIN EMAS
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana cara mengeluarkan zakat perhiasan yang tidak terbuat dari emas murni, melainkan mengandung berbagai macam campuran permata dan batu-batu bernilai tinggi lainnya ? Apakah perhiasan ini dihitung secara keseluruhan, sebab untuk memisahkan kandungan emas dari batu-batuan lainnya adalah hal yang menyulitkan tentunya.?
Jawaban
Yang wajib dizakati adalah emasnya jika untuk digunakan, sedangkan batu-batu mulia, seperti permata, berlian dan lain-lainnya, semua ini tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Jika perhiasan itu terdiri dari berbagai macam unsur seperti yang ditanyakan, maka si pemilik hendaknya mencari tahu akan nilai emas yang bercampur dengan unsur-unsur lainnya, dengan bantuan suaminya, walinya atau dengan memperlihatkan kepada orang yang ahli dalam hal itu, jika sulit untuk diketahui secara pasti maka cukup dengan memperkirakannya, jika emas yang terkandung dalam perhiasan tersebt telah mencapai nishab, maka wajib bagi pemiliknya untuk berzakat dari emas itu. Nishab emas adalah sembilan puluh dua gram, emas yang harus dizakatkan adalah dua setengah persennya yang harus dikeluarkan setiap tahunnya. Demikian pendapat yang benar di antara beberapa pendapat para ulama. Dan jika perhiasan itu diperdagangkan, maka perhiasan itu dihitung secara keseluruhan, termasuk emas, intan, permata, dan lain-lainnya sebagaimana barang-barang dagangan lainnya yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya menurut pendapat mayoritas ulama. [Fatwa Al-Mar'ah, 2/42]
MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN DALAM MATA REAL SAUDI
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Seorang wanita memiliki perhiasan emas yang telah mencapai nishabnya, bagaimana wanita ini menzakati emas perhiasannya itu dalam bentuk real Saudi dan berapa banyaknya .?
Jawaban
Hendaknya setiap tahun wanita itu bertanya kepada penjual emas atau lainnya (yang mengerti emas) untuk menanyakan kadarnya dan sebagainya. Jika Anda telah mengetahui harga emas per-gramnya pada saat ini, maka hendaknya Anda berxakat dengan real Saudi senilai harga emas saat itu, dan tidak perlu mengetahui modal dari harga emas itu saat membelinya, zakat emas dikeluarkan seharga saat tiba kewajiban untuk mengeluarkan zakat tersebut. [Ibid, 1/40]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 212- 215, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Hukum Mengeluarkan Zakat Harta Dalam Bentuk Makanan, Pakaian Atau Selainnya
Selasa, 2 Maret 2004 17:52:27 WIB
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT HARTA DALAM BENTUK MAKANAN, PAKAIAN ATAU SELAINNYA
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Bolehkah mengeluarkan zakat harta (mal) dalam bentuk lain, seperti makanan, pakaian atau selainnya yang dibeli dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat? Dan apakah boleh mengeluarkan sebagian darinya untuk kaum kerabat, dan apakah derajat kekerabatan itu?
Jawaban
Sebaiknya mengeluarkan zakat harta dari jenisnya itu sendiri, kecuali harta perdagangan yang dinilai dan dikeluarkan zakat nilainya dalam bentuk uang. Tetapi jika muzakki (orang yang berzakat) memandang perlu untuk membeli kebutuhan pokok dengan zakat tersebut untuk fakir miskin, seperti pakaian, nafkah dan perabot, sedangkan ia membutuhkannya, maka diperbolehkan. Kemudian zakat tersebut diberikan kepada pihak penerima zakat yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun mereka kerabat
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Bahkan diutamakan memberikan kepada kerabat, jika ia sangat membutuhkannya, selama bukan karena pemihakan (nepotisme) dan lebih mengkhhususkannya ketimbang orang lain yang lebih berhak daripadanya.
Tidak boleh memberikan zakat kepada ahli waris muzakki dan tidak boleh pula diberikan kepada asal keturunannya berikut cabangnya, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, anak dan seterusnya.
[Disalin dari buku Fatawa Az-Zakah, edisi Indonesia Fatwa Seputar Zakat, Penyusun Muhammad Al-Musnid, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag, Penebit Darul Haq, Cetakan I Sya’ban 1424H]
Tidak Mengeluarkan Zakat Perhiasan Selama Dua Puluh Tahun
Selasa, 2 Maret 2004 17:37:06 WIB
TIDAK MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN SELAMA DUA PULUH TIGA TAHUN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai perak yang dijadikan perhiasan di leher, kedua tangan, kepala dan ikat pinggang, saya sudah berulang-ulang meminta kepada suami saya agar menjual harta itu dan menzakatinya, tapi ia mengatakan, bahwa harta itu belum mencapai nishab. Saya telah memiliki harta itu selama sekitar dua puluh tiga tahun dan belum pernah mengeluarkan zakatnya. Apa yang harus saya lakukan sekarang ..?
Jawaban
Jika harta itu belum mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu, perlu diketahui bahwa nishab dari perak adalah seratus empat puluh mitsqal (enam ratus empat puluh empat gram), dan jika perhiasan perak itu telah mencapai jumlah tersebut maka wajib mengeluarkan zakat dari harta itu setiap tahunnya menurut pendapat yang paling benar tentang hal itu diantara dua pendapat ulama. Harta yang dikeluarkan untuk zakat itu adalah senilai dua setengah persennya. Adapun nishab dari harta emas adalah sembilan puluh dua gram, dan harta yang harus dikeluarkan itu adalah senilai dua setengah persennya jika telah mencapai nishab ini. Jika harta yang dizakati itu melebihi dari nishab, maka dikeluarkan sebesar dua setengah persen dari seluruhnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Orang yang memiliki emas dan perak kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya maka pada hari kiamat nanti, akan dibuatkan baginya lempengan-lempengan yang terbuat dari api, kemudian distrikakan pada dahinya, lambungnya dan punggungnya, yang mana satu harinya seukuran lima puluh ribu tahun hingga Allah menetapkan ketetapannya di antara para hamba-hamba-Nya, kemudian ia akan mengetahui apakah ia akan menuju Surga atau ke Neraka" Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, ia berkata : Bahwa seorang wanita datang menemui beliau dan di tangan putrinya melingkar dua gelang emas, maka beliau bersabda.
"Artinya : Apakah engkau mengeluarkan zakat ini (gelang emas) ?, wanita itu menjawab : "Tidak", maka beliau bersabda : Apakah engkau senang jika Allah melingkarkan gelang padamu di hari Kiamat dengan dua gelang yang terbuat dari api.?". Lalu wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan memberikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : "Kedua gelang ini untuk Allah dan Rasul-Nya".
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dan banyak hadits yang semakna dengan hadits ini.
HUKUM ZAKAT PERHIASAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Sesorang meminta fatwa tentang zakat perhiasan dan menanyakan tentang hadits yang mengisahkan tentang dua gelang.
Jawaban
Ada dua status perhiasan, pertama : Bahwa perhiasan tersebut memang diproyeksikan untuk digunakan sebagai perhiasan atau untuk dipinjamkan, yang mana si pemilik menggunakannya untuk dirinya sendiri atau dipinjamkan kepada seseorang yang hendak menggunakan tanpa imbalan, maka perhiasan yang statusnya seperti itu tidak perlu dizakati.
Kedua : Perhiasan itu diproyeksikan untuk disewakan yang mana pemiliknya menyewakan perhiasan itu kepada orang yang ingin menggunakannya, atau bisa juga perhiasan itu tidak dipergunakan melainkan diproyeksikan sebagai sumber nafkah kehidupan, yaitu setiap kali pemiliknya membutuhkan uang maka ia menjualkannya sebagian dan uangnya di proyeksikan untuk nafkah hidup, atau perhiasan itu sebagai barang yang diharamkan, seperti bejana yang terbuat dari emas atau perak, atau sebagai cincin yang dikenakan pria, atau sebagai gelang yang dipergunakan oleh pria dan lain-lainnya, maka pada perhiasan-perhiasan semacam ini wajib dikeluarkan zakat jika telah mencapai nishab dengan sendirinya atau dengan menjumlah seluruh barang yang termasuk dalam kategori ini.
Adapun mengenai hadits dimaksud, beberapa ulama telah menyebutkan tentang sanadnya dan melemahkannya, At-Tirmidzi mengatakan : Tidak ada hadits yang shahih dalam bab ini. Dan kendati diperkirakan keshahihannya. namun bertolak belakang dengan hadits-hadits lainnya. Wallahu a'lam.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/98]
HUKUM ZAKAT PERHIASAN YANG DIPROYEKSIKAN UNTUK DIPAKAI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Bagaimana syari'at Islam mengenai zakat perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai ?
Jawaban
Perhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak yang diproyeksikan untuk dipakai, mengenai penzakatannya telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, baik terdahulu mupun sekarang. Pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada zakat pada perhiasan tersebut (yang diproyeksikan untuk dipakai), berdasarkan hal-hal dibawah ini.
[1]. Hadits yang diriwayatkan oleh Afiah bin Ayyub dari Laits bin Sa'ad dari Abu Az-Zubair dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau besabda.
"Artinya : Tidak ada zakat pada perhisan"
Afiah bin Ayyub menukil hadits ini dari Abu Hatim dan Abu Zar'ah, ia berkata tentang hadits ini : Hadits ini tidak bermasalah, dan hadits yang telah disebutkan ini dikuatkan oleh Ibnu Zauji dalam Tahqiqnya, dalam hal ini terdapat bantahan terhadap pernyataan Al-Baihaqi bahwa Afiah adalah seorang yang tidak dikenal dan haditsnya ini tidak benar.
[2]. Bahwa zakat perhiasan jika diwajibkan sebagaimana diwajibkan pada harta-harta yang telah ditetapkan kewajibannya, maka tentunya kewajiban ini telah dikenal sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya akan dilakukan pula oleh para imam pada masa setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan dengan demikian hal tersebut akan disebutkan dalam kitab-kitab mereka yang membahas tentang sedekah, namun kenyataannya, itu semua tidak pernah terjadi sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal".
[3]. Apa yang diriwayatkan oleh At-Atsram dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa ia berkata : Lima orang di antara para sahabat berpendapat, bahwa tak ada zakat pada perhiasan, mereka itu adalah : Aisyah, Ibnu Umar, Anas, Jabir dan Asma'. Riwayat ini dinukilkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Ad-Dirayah" dari Al-Atsram.
Al-Baji menyebutkan dalam Al-Muntaqa Syarh Al-Mu'atha : Hal ini tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan-perhiasan, adalah pendapat yang dikenal di antara pada sahabat, dan orang paling tahu tentang hal ini adalah Aisyah Radhiallahu 'anha, ia adalah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga tidak akan tertutup baginya pengetahuan tentang hal ini, juga Abdullah bin Umar, yang mana saudara perempuannya yang bernama Hafshah,adalah salah seorang istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tentunya tidak akan tertutup baginya untuk mengetahui hukum masalah ini.
Dalam "Kitabul Amwal" karya Abu Ubaidi disebutkan, bahwa tidak ada riwayat yang shahih dari para sahabat tentang adanya zakat perhiasan, kecuali dari Ibnu Mas'ud, saya katakan : Dalam riwayat kitab "Al-Mudawanah" dari Ibnu Mas'ud terdapat pendapat yang sesuai dengan pendapat para sahabat tadi, dalam "Al-Mudawwanah" yang ditulisnya disebutkan : Ibnu Wahab berkata : Dikhabarkan kepadaku oleh beberapa orang ahlul ilmi dari Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, Al-Qasim bin Muhammad, Sa'id bin Al-Musayyab, Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dan Amrah dan Yahya bin Sa'id bahwa mereka berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan.
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat yang tidak mewajibkan zakat, terlalu panjang jika harus dikemukakan semuanya. Adapun mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai berdalil pada hadits yang bersifat umum, seperti hadits.
"Artinya : (Zakat) pada Riqqah adalah seperempat dari sepersepuluh (dua setengah persen)".
Dan hadits.
"Artinya :..Dan yang kurang dari lima Uqiyah tidak ada sedekahnya".
Dalam kedua hadits ini tidak ada pengkhususan pada perhiasan sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam "Kitabul Amwal", dan diterangkan Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" bahwa kata "Riqqah" bagi bangsa Arab diartikan dengan dirham yang dicetak untuk digunakan sebagai alat penukar di kalangan manusia, sedangkan kata "Uqiyah" bagi bangsa Arab dalah menunjukkan pada dirham yang berjumlah empat puluh dirham setiap uqiyahnya.
Pada kenyataannya bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk digunakan adalah dari nash-nash marfu' yaitu : Hadits seorang wanita yang anaknya mengenakan dua gelang, hadits 'Aisyah yang menggunakan perhiasan perak, hadits Ummu Salamah yang menggunakan kalung emas dan hadits Fatimah binti Qais yang berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Pada perhiasan ada zakatnya"
Serta hadits Asma' binti Yazid tentang gelang-gelang emas, yang mana hadits-hadits menurut Asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Ibnu Hazim, bahwa beristidlal (berdalih) dengan hadits-hadits ini adalah tidak kuat karena hadits-hadist tersebut tidak shahih, dan tidak diragukan lagi ucapan-ucapan mereka lebih utama untuk didahulukan dari pada ucapan orang-orang yang kemudian, yang berusaha menguatkan riwayat-riawayat hadits ini.
Kesimpulannya adalah, bahwa kami berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan yang diproyeksikan untuk dipakai bedasarkan dalil-dalil yang shahih, yaitu sesuai dengan pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, Ahmad , Abu Ubaid, Ishaq dan Abu Tsaur serta beberapa orang sahabat yang telah disebutkan sebelumnya beserta para Tabi'in. Demikian juga dengan perhiasan yang diproyeksikan untuk dipinjamkan tanpa imbalan, perhiasan tersebut tidak wajib dizakati. Adapun perhiasan yang bukan untuk dipergunakan dan bukan untuk dipinjamkan tanpa imbalan maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/95]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 208- 212, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
0 komentar:
Posting Komentar